SEPUCUK SURAT CINTA UNTUK HOLLYWOOD
Quentin Tarantino mencoba memperlihatkan cintanya pada Hollywood justru melalui peristiwa kriminalitas paling berdarah di AS.
***
ONCE UPON A TIME IN HOLLYWOOD
Sutradara : Quentin Tarantino
Skenario : Quentin Tarantino
Pemain : Leonardo DiCaprio, Brad Pitt, Robbie Margot
Inilah fantasi Quentin Tarantino yang terbaru:
Jika dalam film “Inglorius Basterds” (2009), Tarantino dengan semangat menjungkirbalikkan sejarah ( Adolf Hitler dan pasukannya tewas terbakar); maka mengapa tidak menjungkirbalikkan sebuah peristiwa kelam dalam dunia industri pop Hollywood ?
Syahdan sastrawan terkemuka Joan Didion menulis dalam sebuah esei bahwa masyarakat Los Angeles percaya periode 1960-s berakhir dengan mendadak ketika tragedi di Cielo Drive terjadi. Pada tanggal 9 Agustus 1969, Sharon Tate dan kawan-kawannya dibunuh dengan keji oleh para pengikut Charles Manson dan mendadak segala kegiatan terhenti. Amerika menyadari bahwa peradaban mereka terganggu oleh sebuah peristiwa keji yang tak akan terlupakan. Pembunuhan terhadap Sharon Tate, isteri sutradara Roman Polanski, yang saat itu tengah hamil 8,5 bulan beserta tiga kawannya sebegitu brutal dan kejam, taka da media saat itu yang ingin menggambarkan keadaan jenazah.
Peristiwa inilah yang menjadi inspirasi dari tokoh-tokoh fiktif dalam film terbaru Tarantino. Dia menciptakan dua tokoh fiktif, aktor 1960-an Rick Dalton (Leonardo DiCaprio) yang popularitasnya sedang menurun di ambang senja dan sahabat sekaligus aktor stuntman –pemeran pengganti—Cliff Booth (Brad Pitt) yang merangkap menjadi supir dan asisten Dalton.
Kedua aktor ini, yang satu dikenal sebagai aktor terkemuka di masanya yang selalu menjadi koboi jagoan, yang lainnya selalu menjadi pemeran pengganti untuk adegan-adegan laga dan berbahaya kini sama-sama sudah mulai dilupakan. Dalton mulai diberikan peran penjahat atau bintang tamu, sementara Booth tidak disukai studio karena selalu membuat ribut dan juga reputasinya sebagai pembunuh isterinya (yang berhasil berkelit dari hukum).
Dengan cerdas Tarantino meletakkan posisi rumah Dalton tepat di sebelah aktris baru Sharon Tate (Margot Robbie). Meski sepanjang film Tarantino menceritakan kedua penghuni Cielo Drive ini dengan kisah masing-masing dan sentuhannya pada Hollywood, Tarantino akhirnya mempertemukan mereka ada malam nahas 9 Agustus itu.
Dibanding film“Inglorious Basterds” yang menggunakan formula penjungkirbalikan sejarah, film sepanjang 2 jam 40 menit ini mengandung beberapa masalah. Pertama: durasi yang terlalu panjang yang sebetulnya lebih bisa dimampatkan. Tarantino, yang selalu memiliki kekaguman pada aktris blonda betul-betul menggunakan kamera untuk secara sengaja melakukan ‘gazing’ pada kaki jenjang dan wajah Margot Robbie, berkali-kali dan tak relevan sama sekali. Kedua, jika film “Inglorious Basterds” adalah sebuah cerita khayalan ‘what if’ yang mengumpamakan jika sekelompok relawan , yang menamakan diri Inglorious Basterds, berhasil membunuh Hitler dan para hambanya. Penonton gembira, fantasi seru , tak ada yang berduka menyaksikan adegan khayalan Hitler dan pasukannya tewas terbakar. Tetapi membuat permainan serupa pada sebuah pembunuhan keji di masa lalu sebetulnya tak sepenuhnya etis, apalagi menyenangkan. Kisah ‘what if’ itu bukan hanya akan melukai keluarga para korban tetapi juga seluruh masyarakat Amerika yang masih guncang setiap kali teringat horor itu. Apalagi nada dari keseluruhan film yang dipanggul oleh Leonardo DiCaprio dan Brad Pitt adalah humor yang ingin menertawakan diri sendiri. Ini semua terasa ganjil ketika mereka mulai bersentuhan dengan peristifjv aembunuhan terhadap Sharon Tate dan kawan-kawan.
Belum lagi adegan fiktif pertemuan antara Booth dan aktor Bruce Lee (Mike Moh) yang bukan saja akan menjengkelkan keluarga Lee, tetapi seluruh jagat penggemar aktor kung fu pertama yang berhasil maju ke Hollywood ini. Tentu, tentu ini adalah fantasi Tarantino, bagaimana mungkin kita ‘mengadili’ fantasi? Tapi tampaknya ini memang ‘mimpi basah’ Tarantino: bahwa aktor kulit putih jauh lebih jago kung fu daripada aktor kung fu itu sendiri. Mungkin itu sebabnya jagoan kunfu di dalam film KillBill 1 dan Kill Bill 2 juga selalu diperankan oleh aktor-aktor Amerika kulit putih yang ternyata lebih jago martial-art dibanding tokoh-tokoh Asia.
Bahwa dalam film “Once Upon a Time in Hollywood” Tarantino berhasil membangun Hollywood dan Los Angeles pada tahun 1969, lengkap dengan musik, kostum, model rambut hingga kebiasaan merokok dan menumbuhkan rambut pada ketiak mungkin sebuah ketelitian yang perlu dipujikan. Pada dasarnya, ia tengah menulis surat cinta pada Hollywood.
Juga harus diakui Tarantino berhasil memperlihatkan bagaimana politik dan intrik dalam dunia film Hollywood dengan mudah mengangkat seseorang untuk kemudian membantingnya suatu hari.
Mungkin ini bukan karya Tarantino yang terbaik, tetapi tetap menarik untuk didiskusikan karena relevansi sosial (dan kriminalitas) yang terjadi sebagai latar belakang periodik film ini.
Leila S.Chudori'