KISAH DUA IBU
Film Bumi Manusia menjadi penanda bahwa Indonesia masih bertahan untuk menjadi negara yang bebas berekspresi, karena film ini tampil tanpa gangguan. Bagaimana dengan penggarapannya?
BUMI MANUSIA
Sutradara : Hanung Bramantyo
Skenario : Salman Aristo
Berdasarkan novel karya Pramoedya Ananta Toer
Pemain : Iqbaal Ramadhan, Sha Ine Febriyanti, Mawar Eva de Jongh, Ayu Laksmi, Whani Dharmawan, Jerome Kurnia, Donny Damara
Produksi : Falcon Pictures
***
Ada dua orang ibu yang penting di dalam novel karya Pramoedya Ananta Toer yang masyhur ini. Pertama, sang Ibunda Minke , seorang perempuan Jawa yang anggun, bijak dan penuh tutur kata lembut yang memayungi hati anak lelakinya saat dia resah. Sedangkan perempuan lainnya adalah, Sanikem atau lebih dikenal sebagai Nyai Ontosoroh, seorang gundik yang pada usia belia dijual ayahnya sendiri untuk dikawinkan dengan Herman Mellema, seorang lelaki Belanda.
Di dalam film karya Hanung Bramantyo yang beredar pekan lalu dan dirayakan dengan meriah itu, dua ibunda tersebut diperankan oleh Ayu Laksmi –sebagai Ibunda Minke – dan Sha Ine Febriyanti yang meniupkan ruh ke dalam sosok Nyai Ontosoroh yang perkasa.
Para ibu ini saya pilih menjadi pusat pembicaraan karena dua hal: pertama, merekalah yang membentuk karakter protagonis Minke (Iqbaal Ramadhan) dari seorang lelaki remaja yang gelisah hingga akhirnya kelak menjadi seorang penulis yang cerdas. Kedua, karena apa boleh buat, penampilan kedua perempuan inilah yang paling meyakinkan di dalam film garapan Hanung Bramantyo.
Bumi Manusia, sebagai bagian pertama dari tetralogi karya Pramoedya Ananta Toer adalah sebuah karya sastra Indonesia yang bukan hanya dianggap sebagai berlian di Indonesia yang dikubur puluhan tahun oleh pemerintah Orde Baru, tetapi menjadi dijadikan analisa para pengamat asing. Pramoedya menerima belasan penghargaan karena karya-karyanya, di antaranya dari PEN/Barbara Goldsmith Freedom to Write Award (1988), Ramon Magsasay Award (1995) dan bahkan Pablo Neruda Award, Chile (2004). Begitu tahun 1998 Soeharto mengundurkan diri sebagai presiden, berbagai momen demokratisasi terjadi, termasuk kebebasan berbicara , kebebasan berpolitik dan kebebasan untuk menerbitkan dan mengedarkan buku-buku yang dulu dilarang oleh Kejaksaan Agung. Di awal tahun 2000-an, untuk waktu yang lama, novel ini berpindah tangan sutradara dan produser hingga akhirnya jatuh ke tangan Hanung Bramantyo.
Mereka yang membacanya, paling tidak Bumi Manusia, mengetahui bahwa Minke terinspirasi dari bapak pendiri jurnalisme Indonesia: Tirto Adhi Soerjo, yang juga dikagumi oleh Pramoedya melalui buku Sang Pemula. Minke kemudian tampil sebagai seorang pemuda pribumi yang brilian yang mampu mengalahkan kemampuan akademis para murid HBS yang isinya didominasi orang Belanda dan Indo. Di dalam novel ini, Pramoedya sangat mempersoalkan perbedaan ras dan kelas yang menjadi senjata utama kolonial dalam mengatur kehidupan Hindia Belanda di akhir abad 19. Diskriminasi ras dan kelas ini pula yang menjadi dasar persoalan hubungan Minke dengan Annelies, serta tokoh-tokoh yang bermunculan di dalam novel. Posisi minoritas protagonis Bumi Manusia yang menggerakkan cerita ini, bagaimana Minke menanggapi rasa cinta pada seorang gadis indo, Annelies Mellema, putri Nyai Ontosoroh dan Herman Mellema. Hubungan trio Minke, Nyai Ontosoroh dan Annelies bukan saja menjadi wacana bibit perlawanan kaum pribumi terhadap Belanda, tetapi kepada diskriminasi ras secara luas, meski semula diawali dengan pemikiran dan diskusi antara Minke dengan beberapa kawan-kawannya. Adalah peristiwa kematian Herman Mellema dan perkawinan Minke dan Annelies yang kemudian menjadi puncak persoalan besar yang berakhir pengadilan. Seperti kata Nyai Ontosoroh, mereka melawan hukum penjajah.
Begitu banyak plot dan subplot, begitu banyak tokoh (lebih dari 22 orang), maka ketika nama Iqbaal Ramadhan diumumkan, internet meledak. Para pembaca fanatik dan para analis karya Pramoedya Ananta Toer tak habis-habisnya mempersoalkan bahwa film ini sudah jelas akan menjadi sebuah film komersial, apalagi Hanung sudah menekankan sejak awal di berbagai wawancara bahwa “Bumi Manusia” adalah “kisah cinta Minke dan Annelies.”
Keriuhan sekaligus keinginan tahu pembaca novel Bumi Manusia itu terjawab seusai Gala Premiere yang diselenggarakan di Surabaya dan Jakarta. Pendekatan yang digunakan Hanung bukan sekadar ‘populer’ tetapi bahkan segala yang rumit dalam novel dan karakter film ini sengaja tidak dijadikan wacana dan tidak digarap secara mendalam. Film ini jatuh menjadi sebuah film cinta remaja dengan persoalan kolonialisme menjadi latar belakang.
Dari sisi cerita, Hanung dan penulis skenario Salman Aristo mencoba memasukkan semua plot dan subplot yang dianggap penting, karena “novel ini sudah berkisah drama tiga babak, sangat asyik mengadaptasikannya,” kata Hanung. Yang terpaksa mereka coret dari skenario adalah latar belakang kisah Robert Surhoff, kawan Minke yang memperkenalkannya pada Nyai Ontosoroh dan Minke,; dan juga sejarah Jean Marais.
Tetapi bukan pemotongan-pemotongan subplot itu betul yang membuat film ini menjadi karya yang, dalam beberapa hal, mengecewakan, namun lebih pada penafsirannya. Pertama, dengan setting Boerderij Butenzorg yang pada layar terlihat mulus, mengkilap, cat baru mengering bak perumahan modern masa kini, rasanya buyar sudah bayang-bayang area rumah akhir abad 19 seperti yang termaktubkan pada teks Pramoedya. Tentu, tentu menyaksikan film berarti harus menghargai medium baru yang menafsirkan teks menjadi gambar. Tetapi dari bangunan, hingga tata artistik yang seba berkilau bahkan sampai kebaya dan kain Nyai Ontosorh yang –meski cantik—terasa ‘masa kini’, maka jelas efek yang diinginkan para sineas dan produser adalah sebuah cerita masa lalu yang disulap menjadi masakini. Anakronisme dilakukan dengan penuh kesadaran, yang menurut saya sebuah pilihan yang pada gilirannya meruntuhkan upaya apapun yang dilakukan para aktornya.
Kedua, sosok Minke. Tentu kita harus jauh dari curiga. Meski Iqbaal Ramadhan telanjur lekat dengan sosok tokoh Dilan, kecurigaan atas ketidakmampuan Iqbaal menampilkan sosok penting ini harus disingkirkan. Tetapi apa boleh buat. Minke versi Iqbaal adalah Minke van Dilan. Dia sudah mencoba berbahasa Belanda (yang dilakukan dengan baik); dia tetap terlihat cerdas (sebagaimana kecerdasan anak muda milenial); dia juga berbahasa Jawa. Tetapi gerak gerik dan bahasa tubuh dan ekspresi Iqbal dalam film ini tetap tidak berhasil meyakinkan sebagai seorang pemuda HBS yang menonjol, yang mengalahkan siswa Belanda yang kelak memberontak dan melawan hukum Belanda. Simpati dan rasa kasih kita kepada Minke pada teks tak berhasil berpindah pada Minke di layar lebar.
Ketiga, adalah hal yang paling prinsipil bagi saya. Annelies memiliki masa lalu yang kelam, yang menyebabkan dia menjadi gadis yang lemah, gampang sakit-sakitan, manja, mudah menangis. Tetapi di dalam kelemahan karakternya, Pramoedya menciptakan ‘pemberontakan’ gaya Annelies. Dia adalah gadis Indo, dan dia lebih memilih menjadi gadis Jawa yang mencintai Minke, si pribumi yang memiliki nama ‘monyet’. Apakah itu sekedar pemberontakan terhadap kekejian kakaknya Robert Mellema, atau karena memang dia mencintai Minke, atau sekaligus dua-duanya? Harus diingat, dalam karya-karyanya, Pramoedya selalu menghargai posisi tokoh-tokoh perempuan dan membela ketertindasannya.
Yang saya persoalkan di sini adalah peristiwa kelam yang terjadi pada Annelies adalah upaya Robert Mellema memperlihatkan kuasa relasi secara beruntun: dia merasa lebih superior karena dia lelaki, dia kakak kandung dan dia merasa ‘lebih Belanda’. Ini situasi psikologi brilian Pramoedya yang tak mudah divisualkan yang sama sekali tak ditampilkan sutradara. Yang kemudian kita saksikan adalah Robert Mellema, si keji dengan watak yang hitam: one-dimensional character
Keempat, ada momen-momen yang menyebabkan penonton menyangka sedang keluar masuk film “Kartini” yang kebetulan juga disutradarai oleh Hanung Bramantyo. Pada saat Annelies mengajak Minke ‘memasuki’dunia masa lalunya yang tragis, maka kita kembali seperti melihat tokoh Kartini yang tengah ‘menjenguk’ mimpi-mimpinya bertemu dengn Stella di Belanda. Tentu tidak berdosa untuk seorang sutradara menggunakan teknik yang sama dalam film-filmnya, namun film “Kartini” dan “Bumi Manusia” sama-sama film periodik, sama-sama melibatkan suatu pemikiran besar: Kartini tentang kesetaraan gender dan Bumi Manusia: tentang kebangsaan. Artinya: penonton akan merasakan déjà vu yang tak menarik jika pengulangan adegan dilakukan pada kedua film tersebut. Repetisi, jika dilakukan karena sebuah tujuan plot (misalnya untuk memperlihatkan kekuatan atau kelemahan tokoh) akan efektif. Tetapi repetisi yang dilakukan dalam film ini lebih menunjukkan pengulangan belaka, nyaris pada keengganan mencari sesuatu yang baru.
Dengan demikian, tibalah giliran saya menyampaikan, mengapa judul tulisan ini adalah: Kisah Dua Ibu. Ibu Minke, meski hanya hadir sekejap, telah hadir dengan suara yang bijak dan lembut dan menetap di benak dan hati. Ayu Laksmi adalah pilihan yang tepat dan pas, tak salah lagi.
Sedangkan, Nyai Ontosoroh yang diperankan Sha Ine Febriyanti adalah sosok dahsyat yang diperankan dengan dahsyat. Kekuatan ,kelemahan, kerasnya hati lembutnya cinta semua terpancar di dalam ucapan, gerakan dan sinar mata Ine yang tajam. Bahkan dengan kebayanya yang tampak masih baru dan berkelap kelip ,yang sebetulnya mengganggu, Ine tetap bisa menguasai dan menampilkan Nyai Ontosoroh yang luar biasa. Ketika Nyai Ontosoroh akhirnya mengucapkan kalimat “Kita telah melawan, Nyo, sebaik-baiknya, sehorma-hormatnya”, saya kira Ine telah menyelamatkan segalanya dengan “sehormat-hormatnya”.
Tetapi sekali lagi, dengan segala kekecewaan saya (dan penonton lain) yang berharap banyak pada kebesaran novel ini, momen beredarnya film Bumi Manusia dan Perburuan tahun ini tetap menandakan bahwa Indonesia masih ingin mencoba menjadi negara yang mengutamakan kebebasan bereskpresi. Film-film ini digarap dan beredar tanpa gangguan , dan untuk saya, ini perlu kita rayakan.
Leila S. Chudori