Lagu usang upaya melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi kembali terdengar dari Dewan Perwakilan Rakyat. Seluruh fraksi di DPR sepakat mengesahkan usulan untuk merevisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Draf usulan revisi dari Badan Legislasi DPR telah menjadi rancangan undang-undang inisiatif DPR.
Munculnya RUU KPK ini bak operasi senyap. Secara mendadak, DPR mengagendakan rapat paripurna untuk membahas usulan Badan Legislasi perihal revisi undang-undang ini, kemarin. Tanpa hambatan, rapat paripurna DPR pun memuluskan usulan ini.
Inilah tusukan mematikan bagi KPK. Ada enam substansi revisi yang disepakati DPR untuk melumpuhkan KPK. Dari enam itu, yang paling krusial adalah pelemahan kedudukan KPK. Lembaga antirasuah ini akan menjadi "bawahan" eksekutif atau pemerintahan. Padahal, selama ini, KPK merupakan lembaga ad hoc independen yang bukan bagian dari pemerintah.
Poin krusial lain soal penyadapan. Selama ini KPK memiliki wewenang penuh untuk menyadap dan hal itu menjadi instrumen efektif guna mengungkap kasus korupsi. Jika revisi UU KPK disetujui, KPK nantinya hanya boleh melakukan penyadapan setelah mendapatkan izin dari Dewan Pengawas KPK.
Padahal lembaga baru di dalam KPK yang kelak beranggotakan lima orang itu justru mencampuradukkan kewenangan pengawasan terhadap lembaga dengan pengawasan terhadap kewenangan pro yustisia. Potensi bakal terjadinya kebocoran dalam upaya KPK melakukan penyadapan juga kian besar.
Selain substansi rancangan undang-undang bermasalah, prosedur pembahasannya menyimpang dari ketentuan. Pengesahan RUU KPK inisiatif DPR ini melanggar Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Aturan ini menyebutkan, pembahasan RUU harus dimulai dari tahap perencanaan dalam program legislasi nasional dan dalam prioritas legislasi tahunan. Itu semua tidak dilakukan.
Munculnya RUU KPK ini kian misterius karena ternyata juga tak masuk dalam dokumen evaluasi penanganan RUU program legislasi nasional prioritas pada 1 Agustus lalu. Bahkan draf RUU KPK ini tidak ada dalam keputusan rapat pimpinan Badan Legislasi DPR pada 19 Agustus lalu.
Upaya sistematis melemahkan KPK juga kian terasa ketika agenda pengesahan RUU KPK berjalan seiring dengan proses seleksi calon pemimpin KPK. Ketika perhatian publik terfokus pada diajukannya calon-calon bermasalah ke DPR oleh presiden, tiba-tiba Dewan menyetujui Rancangan Undang-Undang KPK. Ini mirip dengan kejadian empat tahun lalu. Di tengah fokus publik pada seleksi calon pemimpin KPK, Dewan juga ngotot merevisi UU KPK.
Kini, ketika DPR satu suara untuk melemahkan KPK, bola pemberantasan korupsi ada di tangan Presiden Joko Widodo. Presiden diuji keberaniannya untuk menolak keinginan fraksi-fraksi di DPR. Anehnya, justru fraksi-fraksi dari partai pendukung pemerintahlah yang menjadi inisiator revisi UU KPK ini. Jika Presiden kelak menerbitkan surat presiden yang menyetujui pembahasan RUU KPK ini, bakal tamatlah riwayat KPK.