Purwanto Setiadi
Wartawan, Pengguna Sepeda
Sesekali berkelilinglah ke wilayah perkotaan dan perhatikan seberapa banyak atau seberapa luas lokasi-lokasi yang sebetulnya boleh dibilang menganggur. Kota, ini bisa yang mana saja-kota besar, tentu saja. Kalau Anda "peka", Anda akan tahu lokasi-lokasi itu, yang merupakan bagian dari pemekaran yang sifatnya lintang pukang, tak lain adalah tempat parkir.
Perlahan-lahan, tempat parkir memang mengambil ruang dalam perkembangan kota. Dan kota yang berorientasi pada kendaraan bermotor (khususnya mobil) mau tak mau bakal menghadapi konsekuensi yang mulanya mungkin tak diharapkan. Wujud dari konsekuensi itu bisa dibayangkan begini: adanya ruang-ruang yang di dalamnya tak seorang pun sedang berkendara.
Sulit dibantah bahwa karena laju pertambahan jumlahnya begitu pesat, mobil yang sedang tak digunakan-yang diparkir-mengangkangi semakin banyak ruang. Pada praktiknya, dewasa ini keleluasaan untuk menghentikan atau menaruh mobil hingga beberapa waktu malah dianggap sebagai hak yang tak bisa dihilangkan, baik oleh publik maupun hukum. Anggapan ini, bagaimanapun, harus diakui ikut menjadi penyebab meluasnya kemacetan, memburuknya tingkat polusi, dan menyempitnya ruang yang justru patut untuk hal-hal lain yang lebih berguna, misalnya penyediaan rumah dan penyelenggaraan transportasi publik.
Satu kota besar yang bisa disebut mengalami pemekaran yang tak terkontrol adalah Kota Meksiko. Sepanjang periode 1980-2010, populasi di pusat kota berlipat hingga enam kali, sedangkan di kawasan pinggirannya bertambah dua kali. Kian banyaknya penduduk-dari 20-an juta orang-yang tinggal di pinggiran menyebabkan perjalanan ke pusat kota, ke tempat kerja, semakin merayap, sekitar empat-enam jam pulang balik. Tempat-tempat parkir bertambah.
Saya teringat Kota Meksiko setelah membaca berita tentang janji Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta, untuk membangun lebih banyak jalur khusus sepeda. Setelah berkereta angin pada malam hari bersama seribu lebih pesepeda dari berbagai kota, Jumat pekan lalu, dia menyatakan bahwa jalur yang terus bertambah akan mendorong "lebih banyak lagi nanti warga Jakarta yang menggunakan kendaraan bebas emisi".
Pernyataan itu menggembirakan, tentu saja. Harapannya adalah hal itu menjadi komitmen yang segera direalisasi. Meski demikian, sebelum kelewat bersukacita, tak salah pula bila harus dipahami bahwa jalur khusus saja tak pernah dan tak bakal bisa mendorong orang untuk meninggalkan kendaraan pribadi di rumah dan memilih mengayuh pedal sepeda untuk menjalani kegiatan sehari-hari.
Pada kenyataannya, Jakarta tak berbeda dengan Kota Meksiko. Jakarta adalah kota yang juga mengalami pemekaran yang harus diakui tak terelakkan dan di luar perencanaan. Semakin bertambahnya populasi di kawasan di sekitarnya, yang mencari nafkah di Jakarta, telah menekan kemampuan jalan dan prasarana lain untuk keperluan mobilitas orang. Kemacetan bertambah buruk dan meluas. Tapi sejauh ini belum terlihat tanda-tanda serius perubahan orientasi sebagai kota yang memanjakan mobil.
Berkaitan dengan itulah Kota Meksiko bisa menjadi contoh baiknya: bahwa pengambil kebijakan di kota ini bersedia menggeser arah. Pada Februari 2017, Miguel Angel Mancera, wali kota kala itu, mengumumkan rencana untuk mengurangi jumlah tempat parkir di dalam kota demi mengatasi persoalan pemekaran yang tak terkendali. Kebijakan resminya dimulai lima bulan kemudian, disebut sebagai "pembatasan ruang parkir dalam peraturan pembangunan".
Peraturan baru itu menetapkan pengembang hanya boleh membangun tiga tempat parkir untuk setiap unit perumahan (berapa pun skala perumahannya). Tapi, dari jumlah maksimum ini, hanya setengahnya yang dibebaskan dari pungutan. Bila pengembang mau menambah jumlah tempat parkir, ada biaya yang mesti dibayar; biaya ini bakal semakin besar bila tempat parkir yang dibangun mendekati angka maksimum. Penerimaan dari pembayaran biaya itu oleh pemerintah kota disalurkan untuk perbaikan transportasi publik dan subsidi perumahan yang, dengan begitu, menciptakan siklus "luhur" yang menjadikan orang malas menggunakan mobil dan menciptakan maslahat bagi transportasi umum.
Kebijakan tersebut sebetulnya bertumpu pada hasil kajian ilmiah oleh Institute for Transportation and Development Policy (ITDP). Disebut "less parking, more city", kajian ini menemukan lebih banyak ruang digunakan untuk membangun tempat parkir (40 persen dari proyek-proyek besar berupa tempat parkir). Dan fasilitas-fasilitas itu menggunakan lahan strategis di pusat kota (padahal semakin banyak orang terpaksa tinggal di kawasan pinggiran karena tak sanggup membeli rumah di dalam kota).
Belum dua tahun, kebijakan itu sudah menempatkan Kota Meksiko di barisan terdepan kota yang menjalankan pembangunan kawasan urban yang bersifat lestari dan adil. Masih perlu waktu untuk memastikan dampaknya. Apakah bakal mengurangi kemacetan, memaksa orang menggunakan angkutan umum atau sepeda, misalnya? Juga bagaimana ruang yang bisa dibebaskan bakal dimanfaatkan? Tapi yang jelas arah baru ini merupakan fondasi bagi upaya membentuk "kultur" bepergian dengan sarana transportasi selain mobil atau kendaraan pribadi lain. Sepeda, yang tanpa emisi, bisa masuk "skema" ini. Begitulah semestinya kota yang adil di mana pun, termasuk Jakarta.