Penangkapan Direktur Utama PT Perkebunan Nusantara (PTPN) III, Dolly Pulungan, oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dalam kasus suap distribusi gula mengangkat kembali sengkarut kebijakan impor gula nasional. Dolly diduga menerima suap senilai Sin$ 345 ribu dari Pieko Nyotosetiadi, pemilik PT Fajar Mulia Trasindo. Dolly dan Pieko ditetapkan sebagai tersangka bersama Direktur Pemasaran PTPN III, I Kadek Kertha Laksana.
Pada awal 2019, PTPN III menunjuk Pieko dalam skema kontrak jangka panjang untuk mengimpor gula setiap bulan. Menurut aturan internal PTPN, penetapan harga gula seharusnya melalui kajian, tapi pada kenyataannya hanya disepakati oleh tiga pihak, yaitu PTPN III, Pieko, dan ASB selaku Ketua Umum Dewan Pembina Asosiasi Petani Tebu RI (APTRI).
Kasus suap ini membuka kembali kongkalikong pengusaha dengan badan usaha milik negara dan pemerintah dalam kebijakan impor gula. Kuota impor gula dimainkan oleh elite politik sebagai salah satu sumber pemasukan dana. Iklim pergulaan sengaja dipertahankan seperti sekarang, sehingga Indonesia akan selalu membutuhkan impor.
Ironis, karena pada masa sebelum Perang Dunia II, Pulau Jawa menjadi salah satu penghasil gula terbesar di dunia sekaligus pengekspor gula terbesar kedua setelah Kuba. Puncak produksi dicapai pada 1931 sebesar 3 juta ton per tahun dengan sekitar 2,4 juta ton diekspor.
Namun, setelah era tersebut, produksi menurun. Pabrik-pabrik besar gulung tikar dan hanya sejumlah pabrik kecil dengan mesin teknologi rendah yang masih berjalan. Itu pun sudah tua. Sekitar 68 persen pabrik gula di Jawa telah berumur lebih dari 75 tahun, yang membuat produksinya tidak efisien. Hal ini diperparah oleh terus merosotnya luas lahan tebu. Pada 2014, lahan tebu tinggal 450 ribu hektare, lalu merosot menjadi 425 ribu hektare pada 2016, dan 420 ribu hektare pada 2017.
Akibatnya, produksi gula turun, dari 2,5 juta ton pada 2014 menjadi 2,4 juta ton pada 2015, 2,2 juta ton pada 2016, dan 2,1 juta ton pada 2017. Jumlah ini tak mencukupi kebutuhan konsumsi gula nasional yang terus meningkat. Ini menjadi alasan bagi pemerintah untuk membuka keran impor. Menurut Badan Pusat Statistik, impor gula pada 2015 sebesar 3,38 juta ton, lalu melonjak menjadi 4,76 juta ton pada 2016. Sempat turun menjadi 4,48 juta ton pada 2017, tapi naik lagi menjadi 4,63 juta ton pada 2018.
Dalam Rencana Strategi Pembangunan Pertanian 2004-2015, pemerintah mencanangkan swasembada gula pada 2007 atau produksi minimal 2,60 juta ton. Rencana ini tinggal kenangan. Indonesia tak pernah mencapai swasembada gula. Sebaliknya, negeri ini dibanjiri gula impor.
Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan tak pernah serius menangani industri gula nasional. Tidak ada kebijakan yang konsisten dalam membangun industri pergulaan modern dan efisien untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Yang tampak justru jalan pintas, seperti impor gula, yang angka kebutuhan impornya pun terkesan dipaksakan. Bila kebijakan impor gula seperti selama ini dibiarkan, yang untung hanyalah elite-elite politik yang kebagian jatah kuota impor dan kroni-kroni sekitarnya. Jika itu dibiarkan, untuk apa ada Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan?