CERITA HARDO YANG MERUNDUK DAN BERKELEBAT
Novel Pramoedya Ananta Toer yang berkisah tentang perburuan terhadap Hardo, pejuang yang melawan tentara Jepang.
***
PERBURUAN
Sutradara : Richard Oh
Skenario : Husein Atmodjo dan Richard Oh
Berdasarkan novel karya Pramoedya Ananta Toer
Pemain : Adipati Dolken, Ayushita Nugraha, Egy Fedly, Ernest Samudra, Otig Pakis
Produksi : Falcon Pictures
Malam semakin malam.
Demikian hidup Hardo (Adipati Dolken) yang hanya berkawan dengan kegelapan karena sudah beberapa lama dia menetap di dalam gua, akrab dengan seletik api dari korek dan keriuhan dunia dalam benaknya sendiri. Di dalam perburuan tentara Jepang, Hardo terpencar dari keluarga dan kawan-kawanya. Kita berkenalan dengan Hardo, dalam keadaan buron, lusuh, kotor, tubuh kurus dan rambut kusut masai.
Tahun 1945, di akhir masa-masa pendudukan , tentara Jepang masih saja mengais-ngais kekuasaannya meski sudah terdengar kabar bahwa Indonesia akan merdeka. Para petinggi militer Jepang tetap saja berburu para pemberontak hingga Hardo hanya bisa berkelebat di antara gelap malam untuk mencoba bertemu dengan orang-orang yang dicintainya.
Di dalam novel karya Pramoedya Ananta Toer ini, kisah satu malam ini bukan sekadar kisah tegang perburuan terhadap Hardo , tetapi bermunculan satu persatu orang-orang di sekeliling Hardo: yang mencintainya, yang merindukannya dan yang mengkhianatinya.
Ningsih (Ayushita Nugraha) tunangan yang dicintainya, kawan seia sekata ditampilkan dengan adegan kilas balik di saat Ningsih , sang guru berbincang dengan Hardo tentang kehidupan mereka, dan segala yang penting ketika suatu hari Indonesia menjadi negara yang merdeka. Ningsih digambarkan semacam Kartini modern yang membacakan surat-surat Kartini di hadapan murid-muridnya. Bagi Hardo, Ningsih adalah “ibu pertiwi yang mencerahkan”.
Seorang penyair pernah mengatakan bahwa novel “Perburuan” adalah karya Pramoedya Ananta Toer yang paling menarik untuk diangkat menjadi film. Kisah satu malam yang menceritakan dunia batin sekaligus berbagai karakter yang saling kontradiktif yang keluar masuk dalam plot. Tafsir Richard Oh terhadap film ini kemudian membuktikan bahwa memang benar ini adalah novel Pramoedya yang menarik dan menantang untuk diangkat menjadi film.
Bukan saja karena kerja kamera yang luar biasa memperlihatkan perburuan dalam gelap di ladang jagung yang seolah ‘berbuah’ sinar obor; atau dialog antar pemain yang terjalin begitu rupa hingga kita terlempar pada masanya; atau betapa sutradara bahkan dengan teliti menampilkan sebagai murid-murid Ningsih yang sungguh realistik: kumel, berkulit kusam tetapi bermata penuh cahaya semangat belajar.
Bukan saja Adipati Dolken dan Ayushita saja yang bersinar di dalam film ini, tetapi peran pendukung seperti ayah Hardo (diperankan dengan bagus sekali Otig Pakis). Adegan dialog antara Hardo dan ayahnya yang panjang yang berkisah tentang serangkaian tragedi yang terjadi di dalam keluarga mereka sejak Hardo buron. Lantas ayah Ningsih, calon mertua Hardo (juga dimainkan Egy Fedly dengan bagus) yang bergerak seperti ular beludak yang lihai, hanya mematuk ketika target sedang lengah.
Dan Hardo, seperti para pejuang muda yang penuh hasrat kemerdekaan terkadang bisa lengah.
Richard Oh dan penulis skenario Husein Atmodjo, yang membutuhkan waktu dua tahun untuk riset dan menyusun skenario ini berhasil mengangkat novel ini menjadi sebuah prosa liris penuh tragedi. Bahkan pada detil-detik kemerdekaan, Indonesia bukan hanya ada cerita besar tentang proklamasi oleh para pendiri negeri ini, tetapi di sudut-sudut lain ada nama-nama yang mungkin tak tercantum di buku sejarah yang terkena peluru atau bayonet tentara Jepang.
Dengan film ini, Richard Oh bukan hanya memperkenalkan penonton muda tentang Pramoedya Ananta Toer bukan seorang master storyteller, tetapi dia juga akan mengajak penonton ke jagat sejarah yang nyaris absen dalam kurikulum sekolah.
Leila S.Chudori