Pemerintah hanya membeberkan keburukan Jakarta sebagai alasan memindahkan ibu kota ke Kalimantan Timur. Pemerintah harus membuka data dan kajian apa saja yang sudah dilakukan hingga memilih daerah yang dituju. Tanpa hal itu, tak sepatutnya rencana pemindahan dilanjutkan.
Sekalipun tidak baru di dunia, pemindahan ibu kota jelas berbeda skalanya dengan relokasi penduduk yang pernah dilakukan Jokowi di Solo dan Jakarta sebagai kepala daerah. Namun, sebagai presiden, Jokowi sepatutnya lebih cermat dan tidak buru-buru memutuskan pemindahan ibu kota, jika tak ingin mengundang bencana datang. Baik bencana finansial maupun ekologis.
Wacana pemindahan ibu kota digaungkan seusai penetapan pemenang pemilihan presiden pada pertengahan tahun ini. Proses yang terjadi begitu cepat untuk sebuah rencana senilai ratusan triliun rupiah. Presiden Jokowi lantas secara resmi meminta izin dalam rapat paripurna MPR pada 16 Agustus lalu. Sebuah surat lalu dikirim ke pimpinan DPR dengan mengungkapkan sudah ada hasil kajian dan meminta dukungan.
Kita tentu tidak ingin mimpi buruk megaproyek sawah sejuta hektare di Kalimantan Tengah terulang. Analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) proyek itu tidak disiapkan dari awal. Amdal regionalnya bahkan baru dibuat enam bulan setelah proyek berjalan. Rekomendasi sempat dikeluarkan agar proyek ini dibatasi sekitar 100 ribu hektare saja, tapi tidak digubris. Hasilnya adalah sebuah kesia-siaan. Nilai ekonomi proyek raksasa itu lalu dipersoalkan. Sebab, dari Rp 2,5 triliun uang yang dipakai untuk membiayai proyek itu, hasilnya tidak kelihatan.
Pemindahan ibu kota memang tak seluas cetak sawah itu. Tapi nilainya yang diperkirakan Rp 485,2 triliun jelas jauh berkali lipat. Sedihnya, proses yang sekarang pun seperti ada yang hilang. Presiden Joko Widodo tak mengungkap detail kajian yang sudah dilakukan tentang kelayakan daerah yang dituju sebagai ibu kota baru: irisan antara Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara.
Publik buta tentang pertimbangan kenapa wilayah itu dipilih dibanding alternatif lainnya yang pernah ada. Pertimbangan sepi dari goyangan gempa tentu saja tak cukup. Presentasi Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional hanya menyebutkan kajian telah dilakukan dan diselesaikan pada 2017-2019 tanpa penjelasan rinci.
Padahal ada faktor lain seperti konservasi hutan, yang juga bakal terbabat, karena pemindahan ibu kota itu. Ibu kota baru dipastikan akan membuka hutan yang sudah semakin sempit di Kalimantan. Belum lagi kajian atas kemampuan riil dan perencanaan detail dari relokasi nanti.
Presiden tidak boleh tutup telinga. Pendapat sejumlah pakar yang mengajak diskusi terfokus dan terbuka sudah tepat dan sebaiknya didengarkan. Gali masukan lebih luas yang membuat masalah terbuka ketimbang rapat-rapat terbatas di istana. Jangan biarkan keputusan yang dihasilkan menjadi misterius dan semena-mena.
Diskusi terfokus dan terbuka seharusnya dilalui karena bisa membantu menguatkan pertimbangan dan perencanaan yang lebih matangkalau memang ibu kota harus pindah. Ini dibutuhkan untuk memastikan bahwa tidak ada faktor lain, seperti politik ataupun upaya memperkaya kelompok tertentu, dalam pemindahan ibu kota.