Laras Susanti
Peneliti pada Law, Gender, and Society Research Center Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
Koalisi Masyarakat Sipil mendesak Dewan Perwakilan Rakyat segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual. Aturan ini sangat dibutuhkan untuk menghapus kekerasan seksual saat ini.
Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dalam Catatan Akhir Tahun 2019 menyatakan terjadi peningkatan jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan setiap tahunnya. Pada 2018, ada 406.178 kasus, naik dari 348.446 kasus pada 2017. Dari jumlah kasus pada 2018, kekerasan paling banyak terjadi (71 persen) dalam perkawinan dan hubungan personal (pacaran). Dari jumlah itu, 41persen merupakan kekerasan fisik dan 31 persen kekerasan seksual. Pelakunya ialah keluarga terdekat, seperti pacar, ayah, suami, dan paman.
Data itu didapat dari unit penanganan rujukan yang meliputi lembaga negara dan lembaga swadaya masyarakat serta penerimaan pengaduan langsung ke Komnas. Data tersebut harus dimaknai bahwa kekerasan terhadap perempuan itu nyata. Semakin tahun terlihat keberanian korban melapor semakin tinggi dan lembaga penyedia layanan bagi korban semakin dipercaya.
Kategori kekerasan di ranah publik atau komunitas tercatat sebanyak 3.616 kasus. Bentuk kekerasan yang terjadi antara lain kekerasan seksual, fisik, dan psikis. Pelakunya adalah tetangga dan teman.
Survei yang dilakukan sejumlah lembaga swadaya masyarakat, yakni Hollaback! Jakarta, perEMPUan, Lentera Sintas Indonesia, Perkumpulan Lintas Feminis Jakarta, dan Change.org Indonesia, melengkapi data itu. Survei itu mencatat pelecehan verbal yang dialami perempuan meliputi komentar atas tubuh, siulan, diklakson, suara kecupan/ciuman, komentar rasis/seksis, komentar seksual, dan tindakan fisik terus mendekati korban.
Data tersebut bukan sekadar rentetan angka. Pada 2019, sejumlah media massa memberitakan kekerasan yang terjadi terhadap perempuan. Di Bengkulu, JM menjalani persidangan atas dakwaan membunuh secara terencana istri dan dua orang anaknya. Di Manado, pada Maret lalu, M mencekik sang istri sampai meregang nyawa. AS, seorang suami di Banten, membunuh istri dan anaknya yang berusia 40 hari. Tindakan keji AS dilakukan karena istrinya menolak berhubungan intim.
Selain menjadi korban, perempuan justru acap kali dilaporkan balik oleh pelaku. Alih-alih mendapatkan keadilan, perempuan menjadi sasaran penerapan hukum yang keliru. Sebut saja kasus Baiq Nuril, korban yang justru dijerat dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Sementara itu, di Jambi, WA, gadis 15 tahun yang menjadi korban pemerkosaan kakak kandungnya, malah diadili atas perbuatan aborsi.
Setelah reformasi, untuk menjamin hak asasi manusia, Indonesia dilengkapi dengan peraturan perundang-undangan dan lembaga-lembaga negara. Perihal perlindungan terhadap perempuan, selain dilengkapi dengan ratifikasi Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984, Indonesia mengesahkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Di bawah lingkungan kekuasaan eksekutif, ada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) memperkuat jaminan keamanan bagi perempuan yang menjadi saksi atau korban kekerasan.
Sayangnya, pada kenyataannya, peraturan-peraturan itu belum cukup melindungi perempuan. Kerja LPSK, misalnya, terhambat regulasi yang mensyaratkan kekerasan yang dimaksudkan adalah tindakan fisik. Dalam kasus Baiq Nuril, yang bentuk kekerasannya verbal, LPSK tidak dapat melaksanakan kewenangannya. Hal yang lebih mendasar tentu saja adalah masalah patriarki yang mengakar di negeri ini. Dalam kasus kekerasan terhadap perempuan, justru mereka yang sering menerima stigma negatif. Penegakan hukum justru menjadi pedang bagi perempuan korban.
Lahirnya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang Perempuan Berhadapan dengan Hukum membawa harapan baru. Panduan tersebut menjawab permasalahan keadilan prosedural bagi perempuan. Dalam hal keadilan substantif, Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual diharapkan mengisi kekosongan hukum. Sayangnya, sejumlah partai politik justru menentang rancangan tersebut. Alasannya, rancangan tersebut dianggap liberal dan berlebihan. Lebih mengecewakan, sejumlah tokoh publik justru menuding rancangan ini adalah upaya mendorong seks bebas dan pengakuan terhadap LGBT. Lagi-lagi alasan yang tidak masuk akal.
Paparan ini menunjukkan bahwa kekerasan terhadap perempuan itu nyata. Rancangan undang-undang itu akan memberikan perlindungan kepada semua warga negara Indonesia. Bahwa perempuan nantinya mendapatkan perlindungan lebih dalam hal pengaturan kekerasan seksual, itu merupakan keniscayaan. Jika data-data yang telah disebutkan dan bukti langgengnya budaya patriarki tidak mampu meyakinkan, rasanya wajar kita mempertanyakan nilai kemanusiaan mereka yang menentang perlindungan terhadap perempuan.