Pemerintah mesti bekerja ekstrakeras dalam menangani dampak kekeringan akibat kemarau berkepanjangan tahun ini. Terlambatnya antisipasi kekurangan curah hujan dan keringnya saluran irigasi bisa menimbulkan dampak berupa krisis bahan pangan.
Upaya ekstra sangat mendesak, mengingat musim kering tahun ini lebih panjang daripada tahun-tahun sebelumnya. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memperkirakan musim kemarau mencapai puncaknya pada September mendatang. Hal ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, saat musim hujan turun pada pertengahan Agustus-September. Akibatnya, 32 kabupaten dan kota di tujuh provinsi, termasuk daerah penghasil pangan, mengalami kekeringan.
Kementerian Pertanian pun mencatat 31 ribu hektare lahan tanam padi mengalami gagal panen atau puso sepanjang Januari hingga akhir Juli lalu. Lahan puso jauh lebih luas, bahkan jika dibandingkan dengan sepanjang tahun lalu yang mencapai 28 ribu hektare. Jika tak segera ditangani, lahan yang terkena puso bakal lebih luas, mengingat kemarau bisa terjadi hingga menjelang akhir tahun.
Hal yang mengkhawatirkan dari kekeringan adalah potensi kehilangan hasil tanaman padi. Sampai Juli lalu, potensi kehilangan produksi sudah mencapai 265.536 ton. Padahal Kementerian Pertanian sudah mematok target produksi yang sangat tinggi, yaitu 84 juta ton tahun ini, dua setengah kali lipat dari pencapaian 2018. Jika tak ditangani, kemarau panjang bakal mengganggu upaya pencapaian target produksi padi.
Sayang, terobosan pemerintah untuk mengantisipasi dan menangani dampak kekeringan sampai saat ini belum terlihat. Tindakan yang dilakukan masih bersifat reaktif, seperti pembuatan hujan buatan. Belum ada upaya terukur dan terstruktur seperti rencana aksi berisi perkiraan bencana disertai pendataan wilayah yang berpotensi terkena dampak sekaligus penanganan, yang berlaku secara nasional. Baru Provinsi Jawa Timur yang melakukan pendataan yang disertai antisipasi berupa pembangunan embung dan sumur bor.
Kesiapan infrastruktur pengairan pun dipertanyakan. Di Jawa Barat, misalnya, 47 persen saluran irigasi rusak dan tak dapat diandalkan sebagai sumber air pada saat terjadi kekeringan. Program pembagian pompa air untuk petani pun tak efektif lantaran sumber air untuk sawah kadung mengering.
Di tengah kondisi ini, sudah saatnya pemerintah melaksanakan rencana aksi yang komprehensif. Kementerian Pertanian serta Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat bersama dinas terkait di daerah mesti segera berkoordinasi untuk memperbaiki sarana pendukung pengairan yang rusak. Jangan sampai upaya pendukung, seperti pembuatan hujan buatan, terbuang percuma lantaran tak diikuti dengan kesiapan sarana penampung air.
Lantaran ancaman kekeringan terjadi setiap tahun, pemerintah harus memiliki peta serta basis data yang proyektif dan komprehensif sebagai upaya antisipasi. Perkiraan kemarau dan musim hujan dari BMKG mesti diikuti dengan kesiapan lembaga terkait untuk menyusun peta daerah terkena dampak agar pemegang kebijakan di wilayah tersebut waspada. Langkah lainnya ialah menyusun skema asuransi pangan dan pertanian demi menekan kerugian yang disebabkan oleh gejala alam semacam ini.