Putu Setia
@mpujayaprema
Gara-gara ada yang memaki dengan menyebut kata monyet, kerusuhan pun terjadi. Sejumlah bangunan dibakar. Harga diri orang begitu dihina dengan sebutan monyet dan pembalasan telah dilakukan. Betapa mahalnya penghinaan itu.
Sejak zaman purba, kita suka membanding-bandingkan diri dengan hewan. Dua penulis Yunani, Homer dan Aesop, jauh sebelum ada kalender Masehi, sudah mempopulerkan keledai sebagai binatang paling dungu. Yang lebih pintar adalah kuda. Ratusan tahun setelah itu muncul pepatah: "hanya keledai yang jatuh di lubang yang sama dua kali". Begitu dungunya manusia bak keledai sehingga sulit diperbandingkan dengan orang pintar, seperti kata pepatah "keledai hendak dijadikan kuda".
Kalau kita buka kamus yang menghimpun peribahasa, banyak ditemukan nama hewan sebagai simbol untuk mencemooh manusia. Ada "muka badak", bisa dipakai untuk koruptor yang masih tertawa padahal sudah mengenakan rompi oranye. Ada orang yang "membabi-buta" main seruduk saja. Ada yang mengumbar caci-maki, mulutnya berbahaya seperti "mulut harimau". Kita pernah punya Ketua DPR yang mudah berkelit setiap kali ada kasus hukum ibarat "selicin belut" meski "sepandai-pandai tupai melompat akhirnya jatuh pula". Masih banyak pepatah lama yang mencatut nama hewan, padahal bisa tidak adil buat hewan itu. Tetangga saya punya peternakan babi. Justru babi yang buta sangat adem dan kalem.
Di awal Kerajaan Majapahit, para tokoh memakai nama binatang, tentu dipilih binatang yang perkasa. Ada Kebo Iwa, Gajah Mada, Hayam Wuruk, dan seterusnya. Bukan cuma dijadikan nama, hewan juga menjadi sebuah simbol yang dilekatkan pada bendera untuk dikibarkan. Sisa-sisa peradaban itu masih terlihat. Misalnya, banteng pada lambang PDI Perjuangan atau garuda pada Partai Gerindra.
Pada era senja Majapahit, para resi mulai menyadarkan umatnya agar tidak menjadikan binatang sebagai simbol, apakah simbol kebaikan atau keburukan. Dari kitab-kitab Jawa Kuno ditemukan ada upaya para resi memilah kehidupan dunia ini dengan membagi ciptaan Tuhan menjadi tiga, yakni yang punya suara, punya napas, dan punya pikiran-istilahnya bayu, sabda, idep. Kehidupan paling minim adalah tumbuh-tumbuhan, hanya punya napas (bayu). Pepohonan tak bisa berpikir dan bersuara untuk menunjang kehidupannya. Kehidupan yang menengah adalah hewan. Punya napas dan suara, tapi tak punya pikiran. Anjing bisa kencing di sembarang tempat, misalnya. Lalu, kehidupan yang paling utama adalah manusia. Punya ketiganya (disebut Tri Pramana): bayu, sabda, idep. Manusia punya pikiran, akal, dan ilmu. Kenapa lahir menjadi manusia tapi masih mengidolakan hewan? Begitu nasihat para leluhur.
Disusunlah kitab tentang etika lahir menjadi manusia, judulnya Sarasamusccaya, disebut sebagai kitab "Smerti Nusantara"-pedoman etika di Nusantara. Bagian awal kitab ini menerangkan betapa mulianya lahir sebagai manusia. "Apan iking dadi wwang uttama juga ya..." Ini penggalan ayat 4 yang terjemahan bebasnya "sesungguhnya menjelma (lahir) sebagai manusia itu sangat utama". Kitab ini memang berbahasa Jawa Kuno yang memberi nasihat janganlah membandingkan diri dengan hewan, itu sangat merendahkan derajat kemanusiaan.
Maka tepat jika Presiden Jokowi meminta sebutan cebong dan kampret, yang dipakai sebagai kata penghinaan saat pilpres, tak ada lagi. Dan sangat wajar warga Papua marah karena direndahkan dengan sebutan monyet. Kenapa saat ini mudah sekali kita merendahkan diri menyamai binatang dan kenapa kita tak lagi menggali kearifan para leluhur kita pada masa lalu? Ayo kita kembali sopan.