Gutomo Bayu Aji
Pendiri Partnership for Agriculture and Sustainable Livelihoods
Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertanahan di tangan Dewan Perwakilan Rakyat sekarang akan menandai tonggak ketiga pengaturan pertanahan. Tonggak pertama ditandai oleh undang-undang pertanahan kolonial atau Agrarisch Wet 1870, dan tonggak kedua oleh Undang-Undang Pokok Agraria 1960, yang merombak dualisme sistem hukum pertanahan, yaitu sistem hukum Barat dan adat menjadi sistem hukum pertanahan nasional.
Undang-Undang Pokok Agraria adalah perwujudan pengaturan pertanahan untuk mewujudkan cita-cita bangsa, yaitu keadilan dan kemakmuran sebagaimana tertuang dalam konstitusi. Namun, selama hampir 60 tahun terakhir, undang-undang itu berfungsi tidak lebih sebagai simbol jiwa sosialisme bangsa Indonesia.
Di tengah situasi itu, RUU Pertanahan tampaknya akan dihadirkan. Namun sejumlah kelompok pinggiran yang kritis terhadap ketidakadilan agraria menuntut rancangan ini ditunda. Salah satu kritik tersebut adalah rancangan ini sedang mengarah ke kapitalisasi pertanahan. Arah ini sebenarnya telah terpupuk selama masa pembangunan dan semakin kuat ketika Hernando de Soto (2000) membawa pengaruh neoliberalisme pertanahan yang mengubah fungsi tanah dari sekadar aset mati menjadi bernilai modal di dalam ekonomi pasar.
Arah ini sedikit-banyak memperlihatkan adanya pergeseran paradigma dalam pengaturan pertanahan, terutama dari Undang-Undang Pokok Agraria ke RUU Pertanahan. Di dalam teks RUU Pertanahan itu setidaknya terdapat enam arena tempat kapitalisasi pertanahan turut mewarnai arah pengaturannya yang memungkinkan ketidakadilan sosial dalam urusan pertanahan terjadi.
Pertama, pengaturan hak milik atas tanah yang tidak sekuat dan sepenuh sebagaimana yang dimaksudkan di dalam Undang-Undang Pokok Agraria. Di dalam rancangan ini, hak milik atas tanah cenderung rentan terhadap hak-hak lain, seperti hak guna usaha, yang bisa digunakan sebagai instrumen dengan dalih kepentingan nasional.
Kedua, batas minimum dan maksimum hak milik atas tanah, sebagaimana yang sudah dijelaskan kepentingannya di dalam Undang-Undang Pokok Agraria, tidak diatur. Hal ini memungkinkan pengaturan batas-batas itu didasari kebijakan pemerintah yang dinamis, bahkan bergantung pada kekuatan dan kepentingan politik.
Ketiga, pengaturan tanah ulayat secara istimewa, yang memberikan isi dan pelaksanaan hak ulayat secara mutlak, seolah-olah terlepas dari konteks kekuasaan negara. Pengistimewaan ini memungkinkan hubungan antar-warga negara dalam urusan pertanahan, seperti dengan hak milik perorangan atau badan hukum, menjadi tidak setara.
Keempat, pembaruan agraria dimaknai serupa dengan kebijakan reforma agraria pemerintahan sekarang ketika negara mengalokasikan obyek tanah, bukan melakukan penataan hak-hak atas tanah serta batas-batas minimum dan maksimum pada kaum tani. Alokasi obyek tanah, pada kenyataannya, tidak mengatasi masalah petani gurem sebesar 75,6 persen rumah tangga petani (Sensus Pertanian, 2013).
Kelima, tanah negara yang dinyatakan sebagai kawasan hutan, yang di dalam Undang-Undang Pokok Agraria termasuk pengertian agraria, tidak diatur. Padahal kawasan hutan seluas 125,9 juta hektare (2017), atau lebih dari 70 persen agraria yang berupa tanah, hampir setengahnya dikuasai oleh badan-badan hukum yang mewarnai ketimpangan penguasaan lahan.
Keenam, pemberian kewenangan kepada bank tanah yang sangat besar melampaui kementerian terkait serta gugus tugas reforma agraria yang dibentuk belum lama ini dikhawatirkan akan menjadi instrumen kapitalisasi pertanahan yang mengancam kepastian hukum pada hak-hak atas tanah, terutama hak milik.
Dalih kepentingan nasional dalam RUU Pertanahan juga mengalami pergeseran searah dengan perubahan paradigma pengaturan pertanahan sebagaimana disebutkan sebelumnya. Dalih ini semakin sulit diterima oleh nalar publik ketika mereka mengalami pertarungan-pertarungan di lapangan secara langsung dengan berbagai representasi kapitalisasi pertanahan dalam kehidupan sehari-hari.
Fakta ketimpangan bahkan terlihat jelas dalam statistik, yaitu lebih dari 70 persen agraria berupa tanah di kawasan hutan dikuasai oleh negara dan badan-badan hukum, sementara kurang dari 30 persen dikuasai oleh 267 juta orang. Sektor pertanian yang menyerap tenaga kerja terbesar, yaitu 35,7 juta jiwa, menguasai 7,1 juta hektare lahan dengan 75,6 persen rumah tangga petani gurem (2018).
Sejumlah fakta ini seharusnya menjadi pertimbangan nyata RUU Pertanahan untuk menebalkan keadilan sosial di tengah tekanan kapitalisasi pertanahan.