PENANGKAPAN jaksa Eka Safitra, anggota Tim Pengawalan, Pengamanan Pemerintah, dan Pembangunan Pusat-Daerah (TP4D), karena kasus suap sungguh ironis. Sebagai anggota tim yang semestinya mencegah dan menindak praktik korupsi dalam proyek infrastruktur, Eka Safitra justru menjadi pelaku kejahatan tersebut.
Jaksa di Kejaksaan Negeri Yogyakarta ini ditangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi pada Senin lalu. Selain Eka, KPK mencokok Satriawan Sulaksono, jaksa di Kejaksaan Negeri Surakarta, Jawa Tengah; dan Direktur Utama PT Manira Arta Mandiri, Gabriella Yuan Ana. KPK menyita Rp 100 juta dalam operasi tersebut. Suap diduga untuk mengamankan lelang proyek saluran air hujan di Dinas Pekerjaan umum, Perumahan, dan Kawasan Permukiman Yogyakarta 2019, yang masuk dalam pengawasan TP4D.
Skandal suap ini menjadi puncak gunung es pelbagai dugaan penyelewengan para jaksa yang menjadi anggota tim bentukan Jaksa Agung pada empat tahun silam tersebut. Dibentuk atas dasar Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2015 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi, tim ini diduga menjadi lahan baru korupsi para anggota Korps Adhyaksa. Padahal alasan pembentukan tim adalah adanya kekhawatiran pejabat di daerah bakal dipidanakan jika salah memanfaatkan anggaran sehingga proyek strategis tersendat.
Sejak awal terbentuk, pegiat antikorupsi mengkritik keberadaan tim itu karena dianggap sarat konflik kepentingan. Sebagai penegak hukum, jaksa semestinya tidak ikut menjadi bagian dari proyek pemerintah, apalagi sampai menjadi tameng. Di sejumlah daerah, tim ini justru menurunkan produktivitas jaksa dalam pemberantasan korupsi. Bahkan Kepala Kejaksaan Negeri Buleleng, Bali, disebut-sebut memeras rekanan proyek yang diawasi tim TP4D pada 2018. Menurut data Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia, pemerasan yang sama juga dilakukan jaksa di Jawa Tengah.
Fungsi tim tumpang-tindih dengan instansi pengawasan. Pengawasan semestinya menjadi tugas Badan Pemeriksa Keuangan atau Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. Bukan oleh sebuah tim yang beranggotakan jaksa. Karena tim ini lebih banyak mudaratnya, presiden harus memerintahkan Jaksa Agung membubarkannya. Toh, jaksa tetap bisa mengawasi proyek pemerintah dalam kapasitasnya sebagai penegak hukum.
Penangkapan jaksa di Yogyakarta ini menjadi catatan penting bagi Jaksa Agung Muhammad Prasetyo. Selama politikus Partai NasDem itu memimpin kejaksaan, sedikitnya delapan jaksa tertangkap tangan komisi antikorupsi karena suap. Ini menunjukkan pengawasan internal di kejaksaan tak berjalan.
Tingkat keberhasilan kejaksaan dalam menuntut terdakwa korupsi hingga divonis juga rendah. Indonesia Corruption Watch mencatat tingkat keberhasilan Kejaksaan Agung dalam hal itu hanya 60 persen, jauh di bawah keberhasilan KPK, yang di atas 90 persen. Di bawah kepemimpinan M. Prasetyo, citra Kejaksaan semakin terpuruk.
Dalam periode kedua pemerintahannya, Jokowi semestinya tidak mengulang kesalahan yang sama: menyerahkan pos Jaksa Agung ke kalangan partai politik. Presiden harus mencari figur yang benar-benar berintegritas, antikorupsi, dan profesional untuk memimpin sekaligus membenahi Korps Adhyaksa.