Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Demonstrasi Hong Kong dan Privasi di Internet

image-profil

image-gnews
Ratusan massa anti RUU ekstradisi menggunakan payung saat melakukan aksi unjuk rasa menuntut demokrasi dan reformasi politik di Hong Kong, August 18, 2019. REUTERS/Kim Hong-Ji
Ratusan massa anti RUU ekstradisi menggunakan payung saat melakukan aksi unjuk rasa menuntut demokrasi dan reformasi politik di Hong Kong, August 18, 2019. REUTERS/Kim Hong-Ji
Iklan

Fitriani
Peneliti Departemen Hubungan Internasional CSIS Indonesia

Sudah belasan pekan pengunjuk rasa di Hong Kong bentrok dengan polisi untuk memprotes Rancangan Undang-Undang (RUU) Ekstradisi. Setelah terlibat bentrok di jalanan kota dan stasiun kereta bawah tanah, mereka menduduki bandar udara untuk menaikkan pamor masalah ini menjadi isu global. Meski ratusan penerbangan internasional dibatalkan akibat unjuk rasa itu, negara-negara pro-demokrasi dan hak asasi manusia, seperti Amerika Serikat, India, dan Indonesia, tidak bereaksi banyak, kecuali mengeluarkan celoteh di media sosial atau peringatan perjalanan.

Hong Kong memiliki status unik ketika bergabung dengan Cina. Saat koloni Inggris ini dikembalikan ke Cina pada 1997, Hong Kong memiliki status "satu negara, dua sistem". Artinya, wilayah ini memiliki sistem demokrasi dan pengadilan sendiri selama 50 tahun, sementara Cina menangani urusan pertahanan dan luar negeri. Status istimewa ini seharusnya akan berjalan hingga 2047, tapi jika RUU Ekstradisi diadopsi, ada kekhawatiran hak spesial itu berakhir lebih cepat. Sebab, RUU Ekstradisi akan memfasilitasi warga Hong Kong diekstradisi ke Cina jika dianggap melakukan pelanggaran atau perbuatan tidak terpuji di mata Negeri Tirai Bambu.

Sebagai negara yang kurang cocok dengan gaya demokrasi Barat yang ditunjukkan warga Hong Kong, Cina bereaksi keras terhadap penolakan RUU Ekstradisi dan mengecap para demonstran sebagai "kriminal yang melakukan aksi kekerasan" alias teroris. Tidak tanggung-tanggung, mesin pencari yang bisa digunakan di Cina, seperti Weibo, Baidu, Bing, dan Toutiao, hanya menampilkan laman yang berasal dari atau senada dengan pendekatan pemerintah negara adikuasa tersebut. Selain pernyataan resmi dari pemerintah Cina, perang informasi yang digerakkan oleh troll pro-pemerintah mulai menggiring sentimen nasionalisme dan anti-Barat melalui media sosial dengan memanipulasi konteks narasi, gambar, dan video untuk menyalahkan para pengunjuk rasa.

Kriminalisasi melalui Internet sudah diprediksi oleh demonstran Hong Kong. Mereka menyadari kesanggupan Internet melacak informasi pribadi dan berusaha melakukan mitigasi. Mereka menolak menggunakan kartu transportasi umum agar asal halte atau stasiun mereka tidak terbaca dan kartu kredit yang digunakan untuk membayar isi ulang tidak diketahui. Para pengunjuk rasa menahan diri untuk mengambil uang di mesin ATM pada waktu demonstrasi dan menggunakan masker kesehatan untuk mencegah pemindaian wajah dari kamera CCTV yang dipasang di pojok-pojok kota. Upaya penghilangan jejak digital juga dilakukan melalui penghapusan aplikasi ponsel yang menunjukkan lokasi, aplikasi obrolan terenkripsi dengan kata berkode, dan pengaturan untuk menghapus otomatis pesan agar terhindar dari razia polisi.

Meski upaya untuk menyembunyikan identitas telah dilakukan, celah tetap ada. Pengunjuk rasa yang terluka saat demonstrasi terpaksa pergi mencari layanan kesehatan. Namun data pasien bocor karena terhubung secara online dan tidak menggunakan kata sandi untuk diakses, sehingga polisi akhirnya menangkap beberapa demonstran yang sedang berobat di rumah sakit.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Belajar dari Hong Kong, putaran informasi yang terhubung online menunjukkan kerapuhan kondisi saat ini: kehilangan privasi sering kali merupakan risiko yang terlupakan saat individu berusaha memanfaatkan teknologi. Penggunaan data sehari-hari, seperti mencari arah dan menandai peta di Internet, dapat mengeksploitasi, bahkan membahayakan keselamatan diri individu tersebut.

Indonesia sebaiknya tidak memandang sebelah mata terhadap pengalaman Hong Kong. Jangan lupa bahwa bukan hanya orang biasa yang informasinya terhubung secara online. Ponsel Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan istri pernah mengalami penyadapan enam tahun lalu. Negara tetangga yang canggih, Singapura, tahun lalu juga mengalami pencurian data layanan kesehatan pemerintah Singhealth. Satu dari 1,5 juta korban kebocoran data Singhealth adalah Perdana Menteri Lee Hsien Loong, yang disebut pernah menderita kanker. Mungkin saja Indonesia dan Singapura dianggap seakan-akan Hong Kong bagi kekuatan negara lain yang menyadap.

Kini juga marak perdagangan informasi pribadi masyarakat, seperti nomor ponsel dijual perusahaan ke vendor iklan, asuransi, kartu kredit, dan pinjaman teman dalam negeri. Kita juga harus memikirkan arus data nasional ke luar negeri. Menurut Laporan Pengukuran Risiko Dunia 2019 yang dikeluarkan oleh Forum Ekonomi Dunia, penerobosan data berada di posisi keempat untuk risiko terbesar setelah cuaca ekstrem, kegagalan mitigasi perubahan iklim, dan bencana alam yang sangat mungkin terjadi.

Indonesia perlu mencemaskan ketiadaan aturan hukum untuk melindungi hak privasi dan hak asasi manusia di Internet. Padahal, dalam Sidang Umum PBB pada 2015, Indonesia turut mengadopsi Laporan Kelompok Ahli Negara (UNGGE), yang salah satu rekomendasinya adalah negara memastikan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi yang aman dengan harus menghormati promosi, perlindungan, dan penikmatan hak asasi manusia di Internet serta hak privasi di era digital.

Sejauh ini, Indonesia baru memiliki Peraturan Menteri Komunikasi dan Informasi Nomor 20 Tahun 2016 tentang Perlindungan Data Pribadi dalam Sistem Elektronik. Perumusan RUU Perlindungan Data Pribadi sebenarnya sudah dimulai pada 2015, tapi hingga kini belum selesai. Kita berharap para anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang dilantik pada Oktober nanti memprioritaskan RUU yang melindungi hak asasi manusia, baik di dunia nyata maupun maya.

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

2 hari lalu

Sertijab Pj Bupati Musi Banyuasin
Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.


Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

23 hari lalu

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi secara resmi membuka Pos Koordinasi (Posko) Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024 di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta.


25 hari lalu


Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

31 hari lalu

Ilustrasi perang sosial media. / Arsip Tempo: 170917986196,9867262
Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.


AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

35 hari lalu

UKU dan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) menggelar konferensi pers di The Acre, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis, 21 Maret 2024. TEMPO/Savero Aristia Wienanto
AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.


DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

50 hari lalu

Badan Anggaran (Banggar) bersama Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) kembali membahas Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) 2024 di Ruang Rapat Paripurna, DPRD DKI Jakarta, Senin, 30 Oktober 2023. Tempo/Mutia Yuantisya
DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.


Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

51 hari lalu

Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh memberikan pidato politiknya secara virtual pada acara HUT ke-12 Partai Nasdem di NasDem Tower, Jakarta, Sabtu 11 November 2023. HUT tersebut mengambil tema
Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.


H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

15 Februari 2024

Pekerja mengangkut beras di Gudang Bulog Kelapa Gading, Jakarta, Senin, 5 Januari 2024. Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan memastikan persediaan bahan pokok, terutama beras, cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat menjelang Ramadan 1445 Hijriah. TEMPO/Tony Hartawan
H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.


Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.


Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Cuplikan film Dirty Vote. YouTube
Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.