Dwi Putra Nugraha
Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan
Penerapan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen menjadi satu jargon yang kerap mendekorasi pidato kenegaraan pada masa Orde Baru. UUD 1945 diperlakukan layaknya kitab suci yang kebal akan kritik. Namun seberapa pun tinggi dan kuatnya hukum haruslah mengikuti perkembangan zaman sehingga amendemen atau revisi bukan sesuatu yang tabu. Kepastian hukum menjaga hukum dalam satu era, tapi kemanfaatan dan keadilan menempatkan hukum sebagai pedoman ketertiban sebuah bangsa (Radbruch: 1932).
Orang asing Athena, yang disebut dalam buku Nomoi karya Plato, mengusulkan agar terdapat masa 10 tahun eksperimen sebelum aturan hukum dinyatakan tetap dan tidak dapat diubah. Adapun Thomas Jefferson mengusulkan agar setiap 19 tahun, konstitusi, dan bahkan setiap hukum, dianggap telah kedaluwarsa karena tidak mungkin generasi yang telah tiada memerintah generasi yang hidup. Ada konstitusi yang umurnya ratusan tahun, seperti yang dimiliki San Marino dan Amerika Serikat.
Apa sebenarnya yang dapat membuat sebuah konstitusi memiliki daya tahan yang baik? Elkins dkk (2009) mengusulkan teori renegosiasi konstitusi yang memiliki tiga ciri, yaitu daya lentur, sifat inklusif, serta luas dan detailnya cakupan konstitusi.
Dalam desain konstitusi terdapat satu bagian ketentuan yang tidak dapat diubah. Beberapa sarjana menyebut ketentuan itu dengan istilah "eternity clause" (klausa kekal) (Klauss: 2011). Dalam memori sejarah reformasi konstitusi terdapat prinsip yang telah disepakati lebih dulu sebelum proses perubahan UUD 1945 terjadi, yaitu tidak mengubah pembukaan, mempertahankan bentuk negara kesatuan, memperkuat sistem presidensial, penjelasan yang bersifat mengatur diintegrasikan ke dalam batang tubuh, dan perubahan dilakukan secara adendum. Dari lima hal ini, hanya prinsip mengenai bentuk negara kesatuan yang dijadikan sebagai klausul kekal (Pasal 37 ayat (3) UUD 1945).
Salah satu wacana amendemen UUD adalah perlunya Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) kembali. Pengusul perlu merinci gagasan ini karena GBHN, yang pada awalnya mengikuti ide Gosplan Rusia, memang berhasil membawa pembangunan yang baik karena didasari pola kepemimpinan tangan besi.
Selain itu, implikasi logis berupa rusaknya sistem presidensial dengan munculnya kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) untuk membentuk semacam GBHN tidaklah mutlak terjadi. Pedoman itu bisa saja berupa directive principle of state policy seperti yang dimiliki India, Irlandia, Belgia, Filipina, dan Afrika Selatan. Pedoman tersebut dimasukkan ke batang tubuh UUD. Dampaknya, GBHN model tersebut tidak akan mengganggu sistem presidensial karena tak mengubah ketentuan-ketentuan lain. Namun, jika dinilai pedoman tersebut harus diubah secara berkala, ia bisa saja ditempatkan dalam lampiran. Saat ini setidaknya terdapat 75 konstitusi di dunia yang memiliki lampiran.
Lalu, tepatkah UUD 1945 diamendemen saat ini? Jika disebutkan bahwa kewenangan untuk mengubah atau mengamendemen UUD harus diserahkan kepada rakyat, dalam ilmu konstitusi terdapat dua kekuatan untuk mengubahnya, yaitu pouvoir constituant dan pouvoir constitué (Sieyès: 2003). Secara sederhana, pouvoir constituant adalah sebuah kekuatan luar biasa besar untuk membentuk konstitusi atau dengan kata lain ia merupakan ekspresi langsung dari rakyat. Adapun pouvoir constitué terbatas pada ketentuan-ketentuan formal yang diatur dalam hukum positif mengenai bagaimana mekanisme perubahan akan dijalankan.
Apakah kita harus menolak amendemen saat ini? Untuk menjawabnya, maka kita harus lebih dulu menjawab pertanyaan apakah mekanisme perubahan formal sebagaimana diatur dalam Pasal 37 UUD 1945 tidak dapat dilaksanakan? Dalam kondisi normal, MPR memiliki kewenangan menjalankan pouvoir constitué. Kondisi tersebut dapat menciptakan tiga ciri ketahanan (durabilitas) konstitusi, yaitu daya lentur (fleksibilitas), inklusif, serta keluasan dan kedalaman konstitusi agar berjalan maksimal. UUD 1945 akan memiliki daya tahan yang lebih kuat karena telah direnegosiasikan kembali. Maka, upaya untuk menimbang kembali formasi ketatanegaraan yang diatur dalam UUD pada masa ini bukanlah sebuah kesalahan.
Ketakutan munculnya kompromi politik harus disikapi sebagai sebuah conditio sine qua non dalam menjaga renegosiasi konstitusi. Amendemen formal perlu dilakukan karena masih banyak permasalahan hukum yang perlu dibenahi mengingat sudah lebih dari 15 tahun kita memiliki UUD 1945 (posisi Jefferson). Contohnya, pengujian peraturan perundang-undangan yang seharusnya berada di bawah satu atap Mahkamah Konstitusi, ketimpangan peran Dewan Perwakilan Daerah, dan revitalisasi peran Komisi Yudisial. Namun, jika kita memilih jalan lain berupa perubahan UUD melalui pouvoir constituant, diperlukan kejadian luar biasa berupa tekanan ketidakstabilan politik dan krisis ekonomi seperti yang terjadi 21 tahun lalu.