Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Institusi Korupsi dan Perombakan Kabinet

image-profil

image-gnews
Ilustrasi Narapidana kasus korupsi. TEMPO/Imam Sukamto
Ilustrasi Narapidana kasus korupsi. TEMPO/Imam Sukamto
Iklan

Hariadi Kartodihardjo
Guru Besar Kebijakan Kehutanan Institut Pertanian Bogor

Ada hal penting yang belum muncul dalam diskusi seputar perubahan kementerian atau lembaga negara, yakni struktur masalah internal suatu lembaga. Struktur itu, sebagaimana telah dievaluasi Komisi Pemberantasan Korupsi baru-baru ini, adalah terjadinya state capture corruptions sebagai penyebab terhalangnya tujuan-tujuan pembangunan. Persoalannya, hal itu telah menyatu dan menjadi bagian dari perangkat kerja organisasi.

Dalam Crime and Corruption in Organizations: Why It Occurs and What to Do About It, Burke dkk (2011) menyatakan para pelaku kriminal dan korupsi di suatu organisasi cenderung mendapat pembenarannya sehingga menjadi kebiasaan yang dianggap wajar. Kewajaran itu akibat proses "sosialisasi" sehingga korupsi menjadi tindakan bersama. Dalam sosialisasi itu terdapat kooptasi oleh pimpinan atau klien yang berpengaruh sehingga kompromi-kompromi terjadi seiring dengan tugas-tugas resmi. Abdi negara yang terlibat seperti mendapat fasilitas dalam suatu kelompok kerja. Mereka melakukannya dengan mengabaikan standar moral dan merasionalkan tindakannya. Mengapa hal itu terjadi? Setidaknya terdapat dua alasan.

Pertama, korupsi di Indonesia telah mengakar kuat sejak akhir abad ke-18. Pada awalnya, upeti kepada raja-raja dilakukan bukan sebagai bentuk suap, melainkan kepatuhan. Setelah kongsi dagang Belanda, yaitu VOC, datang, mereka membayar elite kesultanan untuk mendapatkan keuntungan perdagangan berbagai komoditas. Bahkan elite kesultanan mendapat gaji tahunan dari VOC sebagai imbalan keperpihakannya.

Mason C. Hoadley (2006) menjelaskan, dalam Public Administration: Indonesian Norms versus Western Forms, model administrasi saat itu dijalankan untuk menangani penduduk lokal. Demi menjamin kesetiaan penduduk lokal dan penguatan kekuasaan, pemerintah Hindia Belanda memberikan toleransi bagi pencampuran ranah administrasi publik dan kepentingan pribadi pejabat lokal. Korupsi seperti yang itu tampak belum berakhir saat ini karena struktur kepemerintahan seperti disebutkan Hoadley masih berjalan, baik karena peraturan, sekadar kebiasaan, maupun kepentingan-kepentingan tertentu.

Misalnya, sebagaimana pernah saya sampaikan dalam kolom Tempo pada 2 Desember 2018 mengenai korupsi politik perizinan sawit, adanya standar pekerja pengawas produksi hutan dan tambang yang tidak mungkin dicapai akibat rendahnya fasilitas dan gaji membuat para pekerja seperti dijebak melakukan kesalahan. Mereka tidak hanya harus setia kepada perusahaan yang diawasi, tapi juga atasannya sehubungan dengan perintah yang diberikan, walaupun keliru. Hal demikian terjadi melalui proses "sosialisasi" sehingga terbangun "institusi korupsi" yang berjalan sebagai kultur birokrasi perizinan. Dalam proses persetujuan dokumen perusahaan oleh pemerintah daerah, misalnya, biaya untuk rapat-rapat ditanggung perusahaan agar cepat terlaksana. Di situlah terwujud kesetiaan sekaligus konflik kepentingan pelaku-pelaku pemberi, pengawas, dan penerima izin sehingga tidak mungkin mereka melaporkan perbuatan sesamanya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kedua, "institusi korupsi" dijalankan oleh orang-orang yang sama sebagai abdi negara. Hasil penelitian saya pada 2017 dan 2018 mengenai perizinan di Riau dan Kalimantan Tengah menunjukkan bagaimana dalam institusi korupsi tersebut terdapat penambahan pemain, selain abdi negara dan pengusaha sebagai subyek utama, yaitu orang atau lembaga yang berperan sebagai konsultan atau perantara maupun klien berpengaruh. Orang yang berpengaruh ini dapat nyata adanya atau hanya sebagai simbol agar pengurusan izin berjalan lancar.

Para abdi negara itu biasanya sudah tidak peka melihat korupsi di lembaganya karena konfigurasi institusi ini. Akibatnya, terbentuk norma yang cenderung membiarkan terjadinya konflik etis atau rasionalitas yang bertentangan dengan kenyataan. Lembaga seperti itu dapat stabil apabila pelanggaran etika di dalamnya berkesinambungan. Apabila terdapat pejabat yang diketahui telah disuap tapi tanpa peringatan atau sanksi, pelonggaran norma sudah terbangun dan seluruh sistem kerja runtuh. Dalam kondisi seperti itu, orang-orang yang punya integritas menjadi "menyimpang" atau malah dapat disingkirkan. Apabila kemudian unit kerja pengawas juga masuk ke institusi korupsi, segala instrumen pengawasan pun macet.

Dengan kondisi demikian, belum diketahui pasti apakah kredibilitas pemimpin lembaga dapat mengatasinya. Maka, terlalu absurd apabila penetapan kementerian atau lembaga hanya memperbincangkan soal jumlah kementerian, nama, tugas, dan siapa pejabatnya. Pada tingkat tertentu, kepemimpinan yang kuat memang dapat mengatasinya, tapi kondisi seperti itu sangat rentan kembali ke posisi semula ketika kepemimpinan berganti. Institusi korupsi itu seperti biji tanaman yang sedang mengalami dormansi. Ia seolah-olah mati, tapi saat ruang tumbuhnya memungkinkan, ia akan hidup kembali. Beberapa kepala daerah di tempat tertentu yang ditangkap KPK secara berurutan menunjukkan hal itu.

Maka, penetapan kementerian atau lembaga juga harus disertai dengan perbaikan struktural. Untuk itu, modifikasi pendekatan Sandoval-Ballesteros (2013), yang disebutnya sebagai structural corruption approach (SCA), mungkin dapat diterapkan. Dalam hal ini, pengendalian korupsi di suatu lembaga dapat dilakukan dengan menata kewenangan lembaga untuk mengurangi potensi penyalahgunaannya, mengurangi impunitas institusional akibat perlindungan politik, dan meningkatkan partisipasi masyarakat, termasuk keterbukaan informasi bagi publik.

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

2 hari lalu

Sertijab Pj Bupati Musi Banyuasin
Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.


Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

22 hari lalu

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi secara resmi membuka Pos Koordinasi (Posko) Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024 di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta.


24 hari lalu


Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

31 hari lalu

Ilustrasi perang sosial media. / Arsip Tempo: 170917986196,9867262
Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.


AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

34 hari lalu

UKU dan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) menggelar konferensi pers di The Acre, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis, 21 Maret 2024. TEMPO/Savero Aristia Wienanto
AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.


DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

50 hari lalu

Badan Anggaran (Banggar) bersama Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) kembali membahas Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) 2024 di Ruang Rapat Paripurna, DPRD DKI Jakarta, Senin, 30 Oktober 2023. Tempo/Mutia Yuantisya
DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.


Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

50 hari lalu

Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh memberikan pidato politiknya secara virtual pada acara HUT ke-12 Partai Nasdem di NasDem Tower, Jakarta, Sabtu 11 November 2023. HUT tersebut mengambil tema
Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.


H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

15 Februari 2024

Pekerja mengangkut beras di Gudang Bulog Kelapa Gading, Jakarta, Senin, 5 Januari 2024. Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan memastikan persediaan bahan pokok, terutama beras, cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat menjelang Ramadan 1445 Hijriah. TEMPO/Tony Hartawan
H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.


Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.


Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Cuplikan film Dirty Vote. YouTube
Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.