Haidar Bagir
Compassionate Action Indonesia
Persoalan "rekayasa" atau strategi sosial-budaya untuk pengembangan karakter bangsa-apakah melalui sekolah atau dalam bentuk semacam "revolusi mental" atau "pembinaan ideologi Pancasila"-tak pernah absen dalam sejarah kebangsaan Indonesia. Hal itu muncul pada masa kebangkitan nasional pada awal abad ke-20, zaman Sukarno dengan berbagai jargon budaya dan politik kebangsaan, zaman Soeharto dengan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), hingga pada zaman Jokowi sekarang.
Di antara berbagai perdebatan di sekitar masalah ini, Polemik Kebudayaan yang berlangsung pada pertengahan 1930-an menjadi yang paling "mengasyikkan". Meski zaman sudah banyak berkembang dengan segala ramifikasinya, inti polemik masih sama: memilih antara model rasionalisme Barat dan spiritualisme Timur.
Istilah "karakter" berasal dari bahasa Yunani "charassein", yang bermakna mengukir atau memahat. Artinya, karakter adalah sesuatu yang tetap, tak bisa (sulit) berubah, sebagaimana halnya ukiran atau pahatan. Dari sinilah karakter dimaknai sebagai ciri khusus atau pola perilaku individu yang tetap atau tak bisa (sulit) berubah. Tapi kata ini tak selalu diasosiasikan dengan akhlak.
Istilah "akhlak" berasal dari bahasa Arab "akhlaq", bentuk jamak dari "khuluq". Kata khuluq memiliki akar yang sama dengan "khalq". Keduanya bermakna sifat atau bentuk ciptaan yang selalu ada-meski kadang dalam bentuk potensi-dalam diri manusia. Bedanya, jika khalq dikaitkan dengan penciptaan yang berkaitan dengan fisik manusia, khuluq berkaitan dengan batin. Lebih jauh lagi, sifat batin itu biasanya dipercayai bersumber dari kebaikan hati atau sifat welas asih.
Membandingkan kedua istilah tersebut mengingatkan kita pada pembagian karakter ke dalam dua aspek: unjuk-kerja (performance) dan moral. Karakter unjuk-kerja menentukan kesuksesan, sedangkan karakter moral menentukan keselamatan dan kebahagiaan. "Moral" berkaitan dengan sifat atau nilai baik-buruk dari suatu sikap atau tindakan dalam hubungannya dengan kebaikan hati.
Jadi, pemahaman karakter tak boleh berhenti pada pendidikan karakter unjuk-kerja saja, tapi harus juga mencakup karakter moral. Tanpa karakter moral, karakter unjuk-kerja berisiko dirongrong oleh semacam moral hazard, yakni sikap tidak bertanggung jawab dan kesediaan mengorbankan kepentingan orang lain demi kepentingan pribadi jika kesempatan yang aman untuk itu tersedia.
Ada beberapa hal yang perlu digali lebih jauh. Pertama, sumber karakter. Secara umum, ada perbedaan antara pandangan dunia "Barat" dan "Timur". Dalam pandangan "Barat" pada umumnya, kesadaran rasional yang baik sudah cukup menjadi dasar bagi tumbuh-kembang karakter yang baik. Maka, dia bisa bersifat pragmatis, bahkan transaksional.
Bagi pandangan dunia "Timur", karakter yang baik adalah kesadaran spiritual, yang biasa disebut kebersihan hati. Malah, sedikit-banyak berkaitan dengan agama. Dalam pandangan ini, moralitas bersifat deontologis, bukan pragmatis atau transaksional.
Jadi, persoalan pendidikan karakter sangat berkaitan dengan aliran pemikiran yang dianut. Bagi aliran rasional, tak diperlukan upaya pendidikan (baca: pengajaran) atau strategi pengembangan karakter secara khusus. Jika orang sudah memiliki rasionalitas, dia akan terdorong untuk bertindak etis. Di sini wacana tentang pendidikan liberal arts-mencakup tata bahasa, logika, dan retorika/komunikasi (trivium), serta aritmatika, geometri, astronomi, dan musik (quadrivium)-menjadi sangat relevan. Bagi kelompok lain, diperlukan semacam latihan-latihan etis dan spiritual khusus-dalam pusat-pusat pendidikan, apalagi dalam pusat-pusat kerohanian-agar seseorang cenderung bertindak etis.
Bagi kelompok pertama, segala jenis upaya rekayasa atau strategi sosial-budaya model "revolusi mental" atau "pembinaan ideologi Pancasila" dipandang kontraproduktif dalam menghasilkan pribadi-pribadi dengan karakter yang diharapkan. Sebab, rekayasa cenderung mendistorsi rasionalitas karena sifatnya yang bisa subyektif alias bias.
Bagi yang lain, tanpa latihan-latihan etis dan spiritual, sulit bagi seseorang untuk memiliki karakter yang diharapkan. Sejak zaman Aristoteles, pendidikan karakter diidentikkan dengan upaya-upaya habituasi (pembiasaan) yang akan dapat mengaktualkan potensi karakter tersebut. Bahkan upaya habituasi seperti ini harus diarahkan untuk menjadikan kecenderungan berbuat sesuai dengan karakter mulia sebagai "tabiat kedua" seseorang.
Kiranya kedua pandangan ini memiliki manfaatnya sendiri-sendiri. Penekanan pada yang semata-mata rasional dan transaksional kadang menjadikan sikap pragmatis yang mengikutinya rentan terhadap godaan untuk bertindak amoral, khususnya saat subyek berada dalam tekanan dilematis. Sementara itu, mengandalkan spiritualitas semata tak jarang membuka kemungkinan bagi sikap-sikap serba akhirat (otherworldly) yang tak kondusif bagi dorongan akan kemajuan dalam karier keduniaan-malah dapat menimbulkan sikap irasional, bahkan kadang kemunafikan. Maka, pendekatan kedua mazhab ini kiranya perlu dikombinasikan secara simultan.
Soal habituasi adalah penciptaan atmosfer berupa infrastruktur hukum dan penerapannya, juga role-modeling dan lingkungan sosial yang mendukung. Tanpa itu, jangankan "sekadar" liberal arts, bahkan pendidikan etis dan spiritual-seintens apa pun-tak akan memberikan hasil sesuai dengan yang kita harapkan. Bangsa apa pun tak akan pernah bisa keluar dari kubangan kekacauan moral jika hukum tidak tegak atau kosong dari pemimpin-pemimpin yang berintegritas, atau sendi-sendi institusi sosialnya goyah diterpa kekacauan. Maka, tidak bisa tidak, upaya yang sinergis di antara berbagai institusi sosial-politik dan pendidikan menjadi suatu keharusan.