TERBONGKARNYA suap PT Angkasa Pura II makin memperlihatkan sisi kelam perusahaan negara. Tak cukup membenahi pengelolaan, pemerintah harus menjauhkan badan usaha milik negara dari kepentingan politik. Penentuan direksi perusahaan negara semestinya atas pertimbangan profesionalitas dan integritas, bukan didasari pesanan penguasa.
Skandal suap itu terkuak setelah Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap Direktur Keuangan PT Angkasa Pura, Andra Y. Agussalam. Ia dijerat dengan kasus suap pengadaan baggage handling system atau sistem bagasi otomatis untuk bandar udara. Tersangka diduga menerima uang pelicin Sin$ 96.700(hampir Rp 1 miliar) dari PT Inti-perusahaan pelaksana proyek yang juga merupakan BUMN.
KPK harus membongkar tuntas kasus memalukan yang melibatkan dua perusahaan pelat merah itu. Dalam mengusut pemberi suap, penyidik semestinya tidak berhenti pada Taswin Nur, pegawai PT Inti yang dituduh menyerahkan fulus kepada Andra. Tidaklah mungkin ia mengucurkan uang cukup besar tanpa setahu atau atas perintah direksi perusahaan.
Kasus itu merupakan tamparan keras bagi Menteri BUMN Rini Soemarno. Mewakili pemerintah, dialah yang selama ini menentukan direksi perusahaan negara. Dia pula yang mengawasi tata kelola dan kinerja semua perusahaan pelat merah. Nyatanya, praktik tercela sering terjadi di perusahaan negara.
Andra, yang diangkat menjadi anggota direksi PT Angkasa Pura II pada 2015, sudah lama masuk radar KPK. Dua tahun setelah pengangkatan itu, namanya muncul dalam sidang kasus korupsi proyek kartu tanda penduduk elektronik. Ketika masih menjadi Direktur Keuangan PT LEN, Andra disebut menerima duit sekitar Rp 1 miliar dari proyek tersebut.
Saat itu, Menteri Rini seharusnya mencopot Andra dari PT Angkasa Pura II kendati ia lolos dari jerat hukum setelah mengembalikan duit tersebut ke KPK. Membiarkan perilaku tercela terbukti keliru besar. Andra kemudian melakukan praktik serupa di Angkasa Pura. Kementerian BUMN semestinya pula memperbaiki rekrutmen direksi untuk semua perusahaan negara. Integritas dan rekam jejak kandidat harus dipertimbangkan, selain soal kapabilitas dan profesionalitas.
Skandal suap di PT Angkasa Pura dan PT Inti makin menambah panjang daftar direksi perusahaan negara yang masuk penjara. Sebelumnya, KPK menangkap Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara Sofyan Basir, April lalu, karena terlibat korupsi proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap Riau-1.
Komisi antikorupsi juga menjerat Manajer Pemasaran PT Pupuk Indonesia yang diduga menyuap politikus Golkar, Bowo Sidik Pangarso. Sebelumnya, anggota direksi PT Krakatau Steel pun ditangkap KPK lantaran menerima uang pelicin dari rekanan perusahaan. Sepanjang 2004-2018, komisi antikorupsi telah menyidik kasus korupsi di 56 perusahaan negara dan daerah di seluruh Indonesia.
Penataan perusahaan pelat merah memang perlu dilakukan, tapi membersihkannya dari korupsi juga amat mendesak. Pembenahan BUMN lewat konsep superholding yang direncanakan pemerintah mesti dikaji lagi karena hanya menekankan aspek bisnis. Pemusatan sejumlah perusahaan negara justru akan memudahkan penguasa atau partai politik mengintervensi BUMN.
Presiden Joko Widodo semestinya menjauhkan BUMN dari kepentingan politik. Selama perusahaan negara dibiarkan menjadi sapi perahan elite politik, korupsi akan terus merajalela. Kalangan direksi akan selalu mencari celah melakukan praktik kotor buat kepentingan penguasa ataupun untuk diri sendiri.