Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Konten Digital dan Halusinasi KPI

image-profil

image-gnews
Hasil Survei Indeks Kualitas Program Siaran Televisi yang digelar Komisi Penyiaran Indonesia(KPI) memperlihatkan kualitas tayangan televisi di Tanah Air masih di bawah standar kualitas KPI.
Hasil Survei Indeks Kualitas Program Siaran Televisi yang digelar Komisi Penyiaran Indonesia(KPI) memperlihatkan kualitas tayangan televisi di Tanah Air masih di bawah standar kualitas KPI.
Iklan

Klara Esti
Peneliti di Centre for Innovation Policy and Governance

Baru-baru ini, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menyatakan keinginannya untuk mengawasi konten di kanal digital, seperti YouTube, Netflix, hingga media sosial seperti Facebook. Alasannya, agar konten di kanal digital tersebut "layak tonton" dan "memiliki nilai edukasi" serta untuk "menjauhkan masyarakat dari konten berkualitas rendah". KPI juga menyoroti kalangan milenial yang mereka sebut "menghabiskan waktu berjam-jam setiap hari untuk mengakses atau menonton konten dari media digital".

Niat KPI ini sekilas tampak mulia, tapi sesungguhnya menyimpan sejumlah masalah besar. Pertama, dan ini yang sungguh fatal, KPI gagal paham akar masalah mengapa masyarakat-tidak cuma kalangan milenial-beralih dari televisi konvensional ke kanal digital. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi menawarkan kemudahan bagi publik untuk mengakses pilihan konten yang lebih beragam sesuai dengan preferensi mereka (Nielsen, 2016; Nielsen, 2017; CIPG, 2018). Penonton beralih ke konten digital justru karena mereka muak akan rendahnya kualitas konten televisi (CIPG, 2015; CIPG, 2018).

Sesuai dengan Undang-Undang Penyiaran, KPI mendapat mandat untuk mengawasi televisi dan radio yang bersiaran dengan frekuensi publik. Sayangnya, selama tiga tahun terakhir, kinerja KPI jauh dari optimal. Bahkan, dalam momen krusial peninjauan kembali izin siar stasiun televisi swasta pada 2016, KPI dengan enteng mengeluarkan rekomendasi perpanjangan izin siar hanya dengan melihat usul program siaran dalam proposal setiap stasiun TV. Hingga kini, tak jelas apakah KPI mengevaluasi kinerja stasiun TV secara berkala, lantaran mereka tidak membuka rapor stasiun TV kepada publik. Konten televisi yang hingga kini cenderung seragam adalah bukti gamblang bahwa teguran dan sanksi KPI tak memberi efek jera.

Kedua, ketidakjelasan standar konten yang "layak tonton", "memiliki nilai edukasi", dan "tidak berkualitas rendah". Ketidakjelasan itu hanya melahirkan kebingungan dan tafsir manasuka. Berdasarkan rekam jejak selama 3-6 tahun terakhir, tak ada jaminan bahwa pengawasan KPI dapat menjauhkan masyarakat dari konten berkualitas rendah.

Baca Juga:

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Hal ini tecermin dalam kualitas konten televisi kita yang selama ini menjadi obyek pengawasan KPI. Meski tiga tahun belakangan KPI sibuk mengurus indeks kualitas siaran televisi dan Anugerah KPI, tidak ada bukti bahwa secara keseluruhan kualitas konten televisi membaik. Tayangan komedi slapstick saling lontar guyonan yang merendahkan martabat salah satu aktor, aksi bongkar urusan personal penuh gimmick, serta iklan partai pemilik media di luar masa kampanye masih jamak kita temui di televisi. Mengingat tayangan seperti itulah yang bertahan di media penyiaran, apakah inilah konten yang layak tonton dan memiliki nilai edukasi yang dimaksud KPI?

Ketiga, KPI tak punya kapasitas mumpuni untuk mengawasi konten digital, baik dari sisi teknis peralatan maupun sumber daya manusia. Hingga saat ini saja, KPI masih menggunakan cara manual untuk mengawasi konten televisi. Sejumlah enumerator menonton siaran televisi di layar masing-masing, lalu melengkapi formulir data pelanggaran yang ditemukan dalam konten siaran. Bagaimana KPI mau mengawasi konten digital dengan kapasitas semacam ini?

Di sisi lain, komisioner KPI yang terpilih pada periode ini minim atau bahkan tak punya rekam jejak dalam bidang penyiaran. Beredar kabar bahwa seleksi komisioner KPI bukan berdasarkan prestasi dan penguasaan isu (merit system), melainkan kedekatannya dengan lingkaran politik tertentu. Ombudsman telah menyampaikan laporan dugaan cacat proses dan maladministrasi dalam seleksi komisioner KPI 2019-2022. Independensi KPI pun patut diragukan.

Akhirnya, KPI harus segera berhenti berhalusinasi. Menginginkan perluasan kewenangan tanpa kompetensi cukup hanya akan menambah karut-marut negeri ini. Alih-alih mengumbar nafsu memperluas kewenangan, sebaiknya KPI berfokus membenahi diri demi melaksanakan tugas dan fungsinya secara optimal.

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

23 jam lalu

Sertijab Pj Bupati Musi Banyuasin
Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.


23 hari lalu


Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

29 hari lalu

Ilustrasi perang sosial media. / Arsip Tempo: 170917986196,9867262
Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.


Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.


Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Cuplikan film Dirty Vote. YouTube
Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.


PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

6 Februari 2024

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.


Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

5 Februari 2024

Ferdinand
Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.


Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

22 Januari 2024

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.


Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

15 Januari 2024

Tangkapan layar tayangan video Tempo.co berisi kampanye Prabowo Subianto di Riau, Pekanbaru, Selasa, 9 Januari 2024.
Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.


Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

15 Januari 2024

Presiden Joko Widodo (kiri) bersama Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (kanan) dan Wakil Ketua MK Aswanto (tengah) meninggalkan ruang sidang seusai mengikuti sidang pleno penyampaian laporan tahun 2019 di Gedung MK, Jakarta, Selasa 28 Januari 2020. Sejak berdiri pada tahun 2003 hingga Desember 2019 MK telah menerima sebanyak 3.005 perkara. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

Kita menunggu Mahkamah Konstitusi mewariskan putusan yang berpihak kepada hukum dan kebenaran, karena kalau hukum tidak ditegakkan, maka tirani yang akan leluasa merusak harkat dan mertabat bangsa Indonesia.