Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Amendemen Konstitusi dan Koalisi Partai

image-profil

image-gnews
Ajukan Paket Pimpinan MPR, Koalisi Prabowo Bisa Terjepit
Ajukan Paket Pimpinan MPR, Koalisi Prabowo Bisa Terjepit
Iklan

Idul Rishan
Staf Pengajar Departemen Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia

Hampir dipastikan, periode kedua pemerintahan Joko Widodo akan ditopang oleh koalisi gemuk di parlemen. Mayoritas partai politik di Dewan Perwakilan Rakyat akan bahu-membahu menyukseskan program kebijakan yang dicanangkan pemerintah.

Baca Juga:

Bisa dibayangkan, jika mayoritas partai politik di DPR bersekutu dengan pemerintah, presiden tidak hanya menjadi episentrum kekuasaan eksekutif, tapi juga pengendali kekuatan partai-partai politik di parlemen. Aroma bagi-bagi kekuasaan sudah mulai tercium. Selain soal jatah di kabinet, perebutan kursi pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menjadi bagian yang tak terpisahkan. Dengan koalisi mayoritas, MPR akan menjadi lembaga strategis pada masa pemerintahan lima tahun ke depan. Jika koalisi pemerintah benar-benar solid, MPR bisa saja bereksperimen untuk mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar (UUD).

Dalam ranah konseptual, relasi eksekutif-legislatif ini menjadi wilayah yang cukup menarik dalam sistem presidensial. Kenyataannya, sistem pemerintahan kita pasca-transisi politik cenderung bergerak secara dinamis. Setidaknya ada dua pola relasi eksekutif-legislatif yang selama ini menjadi basis konvensi kenegaraan dalam sistem multi-partai.

Pola pertama, bangunan koalisi dengan corak minoritas. Dalam langgam ini, presiden tidak mendapat dukungan dari sebagian besar partai politik di parlemen. Pembelahan pemerintahan sangat mungkin terjadi karena relasi eksekutif-legislatif cenderung bersifat konfrontatif. Kondisi ini pernah dialami sendiri oleh Presiden Jokowi-JK pada awal-awal masa pemerintahan 2014-2019. Dengan dukungan minoritas, presiden kesulitan membangun program-program pemerintahan. Kondisi ini semakin diperparah oleh desain UUD pasca-amendemen yang mendelegasikan banyak kewenangan kepada DPR berupa pertimbangan dan persetujuan.

Pola kedua, bangunan koalisi dengan corak mayoritas. Pada langgam ini, mau tidak mau, presiden merangkul mayoritas partai politik untuk bergabung ke koalisi pemerintahan. Ini sedikit beraroma parlementer karena relasi eksekutif-legislatif melebur jadi satu (Alferd Stephen & Cindy Skach: 1993). Cara ini dipercaya sebagai alternatif membangun stabilitas pemerintahan. Dengan dukungan mayoritas partai politik, kebijakan-kebijakan pemerintah relatif bisa berjalan mulus di parlemen. Termasuk di dalamnya soal keinginan untuk melakukan amendemen kelima UUD.

Dengan bangunan koalisi mayoritas, pintu amendemen konstitusi menjadi sangat terbuka lebar. Siasat amendemen ini bisa dianalogikan seperti uang koin. Di satu sisi bisa memperkuat percepatan kebutuhan demokrasi, tapi di sisi lain bisa menjadi jebakan otoritarianisme. Perlu diingat bahwa proses perubahan UUD bisa berjalan tanpa kontrol.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Jika melihat prosedur dan beberapa syarat formal perubahan UUD, kelembagaan MPR merupakan forum joint session anggota DPR dan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Untuk kuorum DPD bisa saja tidak dapat menjadi penyeimbang kekuatan mayoritas partai politik di MPR, mengingat anggota DPR terdiri atas 575 orang dan anggota DPD hanya 136 orang. Sementara itu, Pasal 37 UUD mensyaratkan sepertiga jumlah anggota untuk usul perubahan, dihadiri sekurang-kurangnya dua pertiga dan 50 persen plus satu untuk persetujuan perubahan.

Dalam peta politik demikian, perubahan UUD sangat ditentukan oleh kekuatan mayoritas partai politik pendukung pemerintah di DPR. Agenda amendemen ini tentu bisa menjadi bola liar karena materi perubahan cenderung bersifat sangat kompromistis. Sebut saja soal gagasan perubahan yang sudah semakin mengkristal pada penguatan kelembagaan MPR dalam menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).

Menyerahkannya semata-mata pada kekuatan politik mayoritas tentu akan menghasilkan kompromi politik yang sangat sektoral. MPR sebagai lembaga yang berwenang mengubah dan menetapkan UUD rawan terjebak dalam konflik kepentingan. Apalagi jika materi perubahannya menyangkut soal penguatan kelembagaannya sendiri.

Jika benar amendemen UUD akan digulirkan, ada baiknya memperhitungkan pembentukan Komisi Konstitusi, badan khusus yang dibentuk secara independen dan bersifat non-partisan untuk mengkaji materi perubahan UUD. Belajar dari Spanyol, Filipina, dan Thailand, perubahan konstitusinya dilakukan melalui konvensi khusus dengan pembentukan komisi khusus. Langkah ini dibangun agar usul dan hasil perubahan konstitusi tidak bias dari kekuatan politik pemerintah a quo (David G. Timbermand, ISEAS: 1999).

Pentingnya membentuk komisi konstitusi pada dasarnya dipengaruhi oleh alasan paradigmatis. Partai politik berdiri pada basis untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan, sementara konstitusi berpijak pada basis pembatasan kekuasaan. Memberikan peran mayoritas kepada partai politik terhadap perubahan UUD sama artinya memberi kesempatan partai untuk merebut atau mempertahankan kekuasaannya. Itu sebabnya agenda perubahan UUD perlu dikaji dengan basis rasionalitas yuridis, sosiologis, dan filosofis. Apakah perubahan itu memang benar-benar dibutuhkan guna membangun percepatan demokratisasi? Jika tidak, gagasan amendemen ini bisa membawa pemerintah Jokowi-Ma’ruf pada jebakan otoritarianisme.

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


17 hari lalu


Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

23 hari lalu

Ilustrasi perang sosial media. / Arsip Tempo: 170917986196,9867262
Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.


Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.


Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Cuplikan film Dirty Vote. YouTube
Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.


PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

6 Februari 2024

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.


Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

5 Februari 2024

Ferdinand
Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.


Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

22 Januari 2024

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.


Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

15 Januari 2024

Tangkapan layar tayangan video Tempo.co berisi kampanye Prabowo Subianto di Riau, Pekanbaru, Selasa, 9 Januari 2024.
Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.


Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

15 Januari 2024

Presiden Joko Widodo (kiri) bersama Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (kanan) dan Wakil Ketua MK Aswanto (tengah) meninggalkan ruang sidang seusai mengikuti sidang pleno penyampaian laporan tahun 2019 di Gedung MK, Jakarta, Selasa 28 Januari 2020. Sejak berdiri pada tahun 2003 hingga Desember 2019 MK telah menerima sebanyak 3.005 perkara. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

Kita menunggu Mahkamah Konstitusi mewariskan putusan yang berpihak kepada hukum dan kebenaran, karena kalau hukum tidak ditegakkan, maka tirani yang akan leluasa merusak harkat dan mertabat bangsa Indonesia.


Bancakan Proyek Sengkarut Nasional

15 Januari 2024

Mantan Menkominfo Johnny G. Plate divonis 15 tahun penjara setelah ditetapkan sebagai tersangka pada 17 Mei 2023 dalam kasus korupsi proyek pembangunan Base Transceiver Station (BTS) 4G yang dikerjakan Kemenkominfo. Johnny bersama sejumlah tersangka lainnya diduga melakukan pemufakatan jahat dengan cara menggelembungkan harga dalam proyek BTS dan mengatur pemenang proyek hingga merugikan negara mencapai Rp 8 triliun. TEMPO/M Taufan Rengganis
Bancakan Proyek Sengkarut Nasional

PPATK menemukan 36,67 persen aliran duit dari proyek strategis nasional mengalir ke politikus dan aparatur sipil negara. Perlu evaluasi total.