Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Dasun

image-profil

Oleh

image-gnews
Iklan

Hidungnya seperti dasun tunggal, pipinya seperti pauh dilayang, dagunya lebah bergantung….

Sejak beratus-ratus tahun yang lalu, orang dengan bahasa yang kemudian disebut bahasa Indonesia mencoba menggambarkan apa yang cantik pada paras perempuan dengan perumpamaan yang diambil dari alam sehari-hari: bawang merah, mangga kuini, serangga yang hinggap.

Kiasan di atas memang kemudian jadi klise dan terasa lebay dan membeku. Dalam buku pengantarnya tentang kesusastraan, Tifa Penyair dan Daerahnya (terbit di awal 1950-an), kritikus H.B. Jassin mencemooh perumpamaan itu dengan menampilkan sebuah gambar perempuan yang grotesk: dagunya seekor lebah dan rambutnya “mayang terurai”, kembang nyiur yang brindil.

Sejak itu kiasan jenis itu menghilang. Sastra modern Indonesia, dengan ledakan kreatif yang baru, punya metafornya sendiri. Tumbuh dikota-kota,sastra ini tak tampak akrab dengan flora dan fauna di ladang pedalaman. Puisi di tahun 1940-an lebih sering memakai perumpamaan perjalanan laut, persinggahan di pelabuhan, dan, bahkan, seperti dalam satu sajak Chairil Anwar, terbang dengan “the only possible non-stop flight”.

Metafor berkembang dari pertautan kita dengan sekitar. Perumpamaan lama bahkan menunjukkan betapa dekatnya kata dengan tubuh dan bumi. Tampak bagaimana bahasa berkelindan dengan pengalaman, bukan produk pikiran. Ruang dan waktu dihayati dengan badan dan dimengerti dengan pancaindra, bukan dengan otak dan geometri. Tak ada penggaris dan jangka. Panjangnya jarak dan lamanya waktu dibandingkan dengan “sepemakan sirih”.

Lebih intens ketimbang zaman digital kini, dulu manusia “dengan peka merasakan pesona dan sihir benda-benda yang sensual, yang menyentuh pancaindra”, kata Nietzsche di akhir abad ke-19. Maka dalam sastra Melayu lama, warna kulit yang kuning bersih adalah warna buah langsat, kata-kata yang ramah disebut “manis seperti madu”.

Tentu saja ini penyederhanaan tepatnya penyederhanaan secara indrawi karena di sini hanya terbentuk satu kiasan dari rasa dan warna yang punya bermacam-macam gradasi. Tapi ini berbeda dengan penyederhanaan melalui definisi.

Definisi dalam bahasa Indonesia dikatakan dengan tepat: “batasan”. Definisi bersifat membatasi, dan konsep dibentuk dari batasan itu. Dalam konsep “hewan”, misalnya, kita membatasi hadirnya beraneka ragam aspek dan mengabaikan banyaknya perbedaan antara seekor kucing dan seekor jerapah. Bahkan dalam konsep ”kucing” kita tak membedakan kucing putih yang di depanku saat ini dengan kucing putih yang kemarin lewat di ruang tamu. Kita membuat abstraksi: “kucing” jadi “kucing-pada-umumnya”, sesuatu yang abstrak sebuah konsep.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tapi manusia tak bisa cuma bersandar pada konsep. Hidup tak akan terasa hidup jika kita meniadakan metafor yang akrab dengan dunia yang konkret, yang bisa diraba, dilihat, dihidu. Bahkan konsep pada dasarnya berasal dari metafor: selalu ada hubungannya dengan tubuh; kata “pembangunan”, misalnya, sebuah konsep ilmu ekonomi, berakar pada kata “bangun”, gerak dari posisi terbaring ke posisi tegak; kata “jabatan” juga bermula dari kata kerja “menjabat”, yang menunjukkan tangan yang memegang erat.

Metafor lahir dari pengalaman badani. Bila Nietzsche mengatakan bahwa dorongan membentuk metafor “tak dapat diabaikan sedetik pun tanpa mengabaikan manusia itu sendiri”, itu karena tubuh dan pemikiran tak pernah terpisah. Tak ada dualisme antara roh, atau intelek, dan tubuh, atau badan. Kata Nietzsche dalam Also Sprach Zarathustra: “Tubuh adalah sebuah kecerdasan amat besar.”

Bahasa lahir dari kecerdasan itu. Tapi dalam sejarah, ada kalanya tubuh diperlakukan seakan-akan tak ada. Ketika ilmu-ilmu mulai mendesakkan diri, bahasa yang berlaku adalah bahasa yang tak bertaut tubuh, yang mengklaim bahwa maknanya tak berubah karena posisi kita memandangnya. “Segitiga sama sisi”, “H2SO4”, dan lainnya diberi arti yang konsisten.

Demikian juga ketika hubungan di antara manusia ditertibkan dengan hukum: bahasa yang berlaku adalah bahasa dengan makna yang dibakukan (dan dibekukan). Hukum akan menolak jika konsep “kriminal” dalam satu kasus berbeda dengan “kriminal” dalam kasus yang lain.

Hal yang sama terjadi ketika agama kian jauh dari pengalaman religius. Pengalaman religius, seperti kata William James dalam The Varieties of Religious Experiences, adalah “individual pinch of destiny”, “sentuhan individual dari nasib”, yang tak bisa diulang, tak bisa diperbanyak, seperti ketika seorang sufi merasakan kasih Allah. Tapi ketika elite agama ingin mengukuhkan kesatuan umat, pengalaman religius yang unik itu disisihkan. Bahasa jadi sepenuhnya mesin penertib, yang tak menghendaki perbedaan dan ketidakterdugaan.

Dengan itu ilmu, hukum, dan agama yang legalistis manusia memang akan mudah menguasai dunia. Ia bisa menolak hidup yang penuh dengan yang-tak-terduga, hidup dalam sejarah yang konkret. Tapi ia juga bisa sebaliknya: memilih berbahasa yang akrab dengan bawang, lebah, mayang yang terurai dengan bumi. Dalam sedih dan bahagia, saya lebih suka memilih ini.

Goenawan Mohamad

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

3 hari lalu

Ilustrasi perang sosial media. / Arsip Tempo: 170917986196,9867262
Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.


Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

46 hari lalu

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.


Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

46 hari lalu

Cuplikan film Dirty Vote. YouTube
Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.


PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

52 hari lalu

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.


Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

53 hari lalu

Ferdinand
Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.


Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

22 Januari 2024

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.


Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

15 Januari 2024

Tangkapan layar tayangan video Tempo.co berisi kampanye Prabowo Subianto di Riau, Pekanbaru, Selasa, 9 Januari 2024.
Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.


Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

15 Januari 2024

Presiden Joko Widodo (kiri) bersama Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (kanan) dan Wakil Ketua MK Aswanto (tengah) meninggalkan ruang sidang seusai mengikuti sidang pleno penyampaian laporan tahun 2019 di Gedung MK, Jakarta, Selasa 28 Januari 2020. Sejak berdiri pada tahun 2003 hingga Desember 2019 MK telah menerima sebanyak 3.005 perkara. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

Kita menunggu Mahkamah Konstitusi mewariskan putusan yang berpihak kepada hukum dan kebenaran, karena kalau hukum tidak ditegakkan, maka tirani yang akan leluasa merusak harkat dan mertabat bangsa Indonesia.


Bancakan Proyek Sengkarut Nasional

15 Januari 2024

Mantan Menkominfo Johnny G. Plate divonis 15 tahun penjara setelah ditetapkan sebagai tersangka pada 17 Mei 2023 dalam kasus korupsi proyek pembangunan Base Transceiver Station (BTS) 4G yang dikerjakan Kemenkominfo. Johnny bersama sejumlah tersangka lainnya diduga melakukan pemufakatan jahat dengan cara menggelembungkan harga dalam proyek BTS dan mengatur pemenang proyek hingga merugikan negara mencapai Rp 8 triliun. TEMPO/M Taufan Rengganis
Bancakan Proyek Sengkarut Nasional

PPATK menemukan 36,67 persen aliran duit dari proyek strategis nasional mengalir ke politikus dan aparatur sipil negara. Perlu evaluasi total.


Dukung Kesejahteraan PPPK, Kabupaten Banyuasin Raih Penghargaan dari PT Taspen

10 Januari 2024

Pemkab Banyuasin menerima penghargaan atas implementasi dalam kesejahteraan ASN melalui Taspen group terbanyak di wilayah kerja PT. Taspen (Persero) kantor cabang Palembang 2023.
Dukung Kesejahteraan PPPK, Kabupaten Banyuasin Raih Penghargaan dari PT Taspen

Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) di Kabupaten Banyuasin mendapat jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, dan jaminan hari tua.