“MASA kegelapan” di Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta, Jawa Barat, dan sebagian wilayah Jawa Tengah selama enam jam lebih pada Ahad, 4 Agustus 2019, menunjukkan manajemen energi kelistrikan di negara ini perlu dievaluasi. Investigasi yang akurat dan transparan atas penyebab lumpuhnya pasokan listrik pada akhir pekan itu merupakan langkah awal yang harus diambil. Pemerintah Presiden Joko Widodo semestinya juga segera menunjuk pemimpin tertinggi Perusahaan Listrik Negara atau PLN, yang kosong sejak Direktur Utama Sofyan Basir menjadi tersangka lalu ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi tiga bulan lalu.
Putusnya aliran listrik dalam waktu cukup lama itu melumpuhkan kegiatan ekonomi dan industri, memutus komunikasi penduduk, juga menghentikan transportasi massal, seperti kereta komuter dan moda raya terpadu. Dampak materiil dan keuangan menerpa konsumen industri, terutama usaha mikro, kecil, dan menengah yang tidak mempunyai tenaga listrik cadangan semacam genset. Kerugian akibat blackout ini ditaksir mencapai Rp 1 triliun.
Menurut PLN, padamnya listrik disebabkan oleh gangguan saluran udara tegangan ekstra tinggi (SUTET) 500 kV di sirkuit di Ungaran dan Pemalang, Jawa Tengah. Gangguan ini menyebabkan penurunan tegangan dan kelebihan pasokan listrik, lalu memicu kerusakan jaringan di Depok dan Tasikmalaya, Jawa Barat.
Investigasi menyeluruh perlu dilakukan, terutama untuk mencegah kecelakaan pemadaman serupa terjadi lagi. Secara teknis, jaringan listrik Jawa dan Bali terkoneksi secara paralel. Kerusakan di Jawa Tengah menyebabkan kekurangan pasokan listrik ke Jawa Barat dan DKI, yang membuat kerusakan transmisi dan pemadaman di dua wilayah tersebut.
Kerusakan beruntun semestinya bisa dicegah jika sistem pelindungan bekerja baik. Pengamanan berlapis-lapis dilakukan untuk mencegah kerusakan beruntun. Dalam praktiknya, cara kerja ini tidak berjalan baik, lalu membuat jaringan kolaps. Tim investigasi yang dibentuk PLN semestinya berfokus menyelidiki penyebab tidak bekerjanya sistem tersebut.
Lebih jauh dari soal teknis, tim independen seharusnya juga dibentuk untuk mendapatkan hasil penyelidikan yang lebih komprehensif. Unit di luar PLN diperlukan untuk menyelidiki cara kerja manajemen perusahaan pelat merah: dari perencanaan dan operasional sebelum pemadaman hingga usaha mereka menghadapi krisis. Hasil penyelidikan tim akan menjawab sejumlah pertanyaan publik, antara lain benarkah anggaran pemeliharaan sudah optimal untuk mendapatkan pelayanan listrik yang aman.
Dahlan Iskan, mantan Direktur Utama PLN, misalnya, menyoroti hilangnya berbagai kegiatan pemeliharaan termasuk tumbuh tingginya pohon sengon yang disebut-sebut menjadi penyebab awal gangguan saluran bertegangan tinggi. Dari laporan keuangan PLN 2018 yang telah diaudit, sebenarnya biaya pemeliharaan meningkat dari Rp 19,5 triliun pada 2017 menjadi Rp 20,74 triliun setahun kemudian. Namun, jika dibandingkan dengan beban usaha secara keseluruhan, proporsi biaya pemeliharaan ini turun dari 7,1 persen menjadi 6,7 persen. Tim investigasi perlu menyelidiki apakah turunnya proporsi biaya pemeliharaan ini mempengaruhi kualitas pelayanan PLN.
Perlu juga dievaluasi struktur manajemen yang membagi PLN ke dalam tiga wilayah di Jawa. Apakah dengan struktur ini koordinasi antarbagian berjalan baik, terutama dalam menanggulangi krisis. Hasil evaluasi ini harus disampaikan kepada publik korban utama padamnya listrik. Dalam konteks evaluasi ini, aparat kepolisian perlu diingatkan agar tidak cepat-cepat menghukum kecuali telah ditemukan bukti tindak pidana. Kriminalisasi yang terjadi pada mantan Direktur Utama PLN, Nur Pamudji, disebut-sebut membuat banyak pejabat PLN mengalami trauma. Walhasil, mereka takut jika ditunjuk menjadi direktur utama.
Puncak pimpinan PLN tak boleh dibiarkan kosong. Tarik-menarik kepentingan dalam menentukan direktur utama jika ada mesti segera diselesaikan. PLN harus diisi profesional yang tak membawa kepentingan politik mana pun. Dari mana pun calon direktur utama berasal, ia mestilah cakap dan bersih agar bisa benar-benar menyelesaikan persoalan dalam perusahaan beraset Rp 1.492 triliun itu.