Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Mendongkrak Rasio Pajak

image-profil

image-gnews
Menkeu Sri Mulyani Indrawati dalam acara penghargaan wajib pajak kepada sejumlah pengusaha di Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta, Selasa, 13 Maret 2018. Melalui program Amnesti Pajak, Sri Mulyani juga dianggap berhasil meningkatkan kepatuhan pajak. TEMPO/Tony Hartawan
Menkeu Sri Mulyani Indrawati dalam acara penghargaan wajib pajak kepada sejumlah pengusaha di Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta, Selasa, 13 Maret 2018. Melalui program Amnesti Pajak, Sri Mulyani juga dianggap berhasil meningkatkan kepatuhan pajak. TEMPO/Tony Hartawan
Iklan

Haryo Kuncoro
Direktur Riset Socio-Economic & Educational Business Institute

Kinerja penerimaan pajak Indonesia sedang mendapat sorotan. Laporan Revenue Statistics in Asian and Pacific, yang dirilis OECD pada akhir Juli lalu, menilai perekonomian Indonesia yang berukuran besar, uniknya, memiliki tingkat penerimaan pajak yang terlalu rendah.

Baca Juga:

Rendahnya penerimaan pajak, yang diukur dari rasio pajak pada 2017, hanya sebesar 11,5 persen. Ini merupakan angka terkecil, bahkan lebih rendah jika dibandingkan dengan negara-negara kepulauan kecil di kawasan Pasifik, seperti Tokelau, yang mencapai 14,2 persen, atau Vanuatu, yang sudah mencapai 17,1 persen.

Dalam pandangan OECD, Indonesia semestinya bisa meningkatkan rasio pajak hingga minimal sama dengan negara-negara berkembang lain yang sudah mencapai level 15 persen. Bahkan, untuk mencapai tujuan pembangunan yang berkelanjutan (SDG), posisi rasio penerimaan pajak setidaknya 16 persen.

Per definisi, rasio pajak adalah perimbangan antara penerimaan pajak dan produk domestik bruto (PDB). Semakin tinggi angka rasio pajak, semakin tinggi pula kinerja pajak suatu negara.

Namun rasio pajak merupakan indikator kasar untuk membuat komparasi kinerja pajak lintas negara. Karena itu, perbandingan rasio pajak antara Indonesia dan negara lain tidak bisa langsung dilakukan tanpa mempertimbangkan karakteristik pembentukannya.

Maka, debat yang muncul bersumber dari dua hal, yakni angka pembilangnya dan besaran penyebutnya. Pada umumnya, "penerimaan pajak" adalah pajak negara yang dipungut oleh pemerintah pusat. Dengan dasar pengukuran ini, rasio pajak Indonesia memang masih relatif rendah.

Jika pengertian "penerimaan pajak" diperluas hingga mencakup pajak daerah dan pungutan atas sumber daya alam, rasio pajak telah mencapai 13 persen. Sayangnya, angka ini pun masih tetap di bawah standar internasional. Walhasil, kapasitas pemungutan pajak secara nasional, harus diakui, masih perlu banyak pembenahan.

Dari sisi penyebutnya, dengan status keanggotaan Indonesia pada G-20-kelompok 20 negara dengan PDB terbesar-rasio pajak Indonesia semestinya bisa meningkat secara sepadan. Hanya, struktur pembentukan PDB sangat berbeda. Pelaku ekonomi di Indonesia lebih banyak bergerak di sektor yang bukan subyek pajak.

Besarnya pelaku ekonomi yang bergerak di sektor primer menyebabkan kontribusi sektor pertanian dalam pembentukan PDB masih signifikan. Demikian pula di sektor industri, 99 persen bangun usaha berukuran kecil dan menengah. Sementara itu, di sektor jasa, terdapat banyak unit usaha dengan status informal. Kondisi ini diklaim menjadi kendala peningkatan rasio pajak.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Apa pun alibinya, peringatan OECD bagi Indonesia untuk meningkatkan rasio pajak patut diperhatikan kendati hal ini tidak mudah. Logikanya sederhana. Kenaikan penerimaan pajak harus lebih tinggi daripada pertumbuhan PDB. Kondisi perekonomian nasional dan global yang sedang mengalami ketidakpastian berimbas pada perolehan pajak.

Perolehan pajak ke depan ada kemungkinan stagnan, mengingat kebijakan fiskal di Indonesia belakangan ini sedang getol menawarkan berbagai insentif perpajakan. Artinya, ada potensi penerimaan pajak yang hilang akibat kebijakan ini. Tahun lalu, potensi penerimaan pajak yang hilang sekitar 1 persen dari PDB.

Pertumbuhan penerimaan pajak juga sulit ditingkatkan lantaran penerimaan pajak tipikal inelastis. Konsekuensinya, pertumbuhan pajak tidak bisa melebihi pertumbuhan PDB. Sebagai rujukan, elastisitas pajak pada 2017 hanya sebesar 0,36. Artinya, 1 persen pertumbuhan ekonomi hanya mampu menaikkan penerimaan pajak sebesar 0,36 persen. Lagi pula, secara empiris, tidak ada satu negara pun yang dapat menaikkan penerimaan pajak dua kali di atas pertambahan nominal PDB-nya (Abimanyu, 2015).

Ada beberapa langkah yang dapat ditempuh pemerintah untuk mendongkrak rasio pajak. Pertama, meminimalkan penyimpangan pembayaran pajak. Hal ini relevan untuk mengkonversi potensi penerimaan menjadi penerimaan efektif guna memenuhi target penerimaan pajak.

Kedua, mengoptimalkan pemanfaatan data perpajakan. Data yang bersumber dari program amnesti pajak, pertukaran informasi keuangan secara otomatis, dan pihak ketiga bisa menjadi acuan dalam mengukur kepatuhan wajib pajak. Salah satu faktor pendorong kepatuhan wajib pajak dalam sistem self-assessment adalah ketersediaan data yang valid.

Ketiga, mentransformasikan "ekonomi bawah tanah" menjadi ekonomi riil sehingga bisa terjangkau pajak. Menurut Medina dan Scheneider (2018), angka ekonomi bayangan di Indonesia mencapai 26,6 persen terhadap PDB.

Keempat, diversifikasi sumber perolehan pajak diarahkan kepada sumber-sumber baru pertumbuhan ekonomi. Ekonomi digital, ekonomi kreatif, dan pariwisata layak dijadikan sebagai lahan baru penerimaan pajak. Perkembangan ini perlu diakomodasi dalam revisi Undang-Undang Perpajakan dan regulasi turunannya.

Hal-hal ini seharusnya dimasukkan ke agenda reformasi perpajakan. Dalam kondisi ekonomi yang rentan terhadap gejolak eksternal, tidak bijak apabila harapan menaikkan rasio pajak dilakukan dengan ekstensifikasi. Ekstensifikasi pajak yang dibangun tanpa perbaikan ekosistem yang melingkupinya niscaya akan kontraproduktif, tidak hanya bagi pemerintah, tapi juga masyarakat.

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


16 hari lalu


Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

22 hari lalu

Ilustrasi perang sosial media. / Arsip Tempo: 170917986196,9867262
Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.


Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.


Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Cuplikan film Dirty Vote. YouTube
Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.


PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

6 Februari 2024

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.


Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

5 Februari 2024

Ferdinand
Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.


Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

22 Januari 2024

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.


Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

15 Januari 2024

Tangkapan layar tayangan video Tempo.co berisi kampanye Prabowo Subianto di Riau, Pekanbaru, Selasa, 9 Januari 2024.
Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.


Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

15 Januari 2024

Presiden Joko Widodo (kiri) bersama Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (kanan) dan Wakil Ketua MK Aswanto (tengah) meninggalkan ruang sidang seusai mengikuti sidang pleno penyampaian laporan tahun 2019 di Gedung MK, Jakarta, Selasa 28 Januari 2020. Sejak berdiri pada tahun 2003 hingga Desember 2019 MK telah menerima sebanyak 3.005 perkara. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

Kita menunggu Mahkamah Konstitusi mewariskan putusan yang berpihak kepada hukum dan kebenaran, karena kalau hukum tidak ditegakkan, maka tirani yang akan leluasa merusak harkat dan mertabat bangsa Indonesia.


Bancakan Proyek Sengkarut Nasional

15 Januari 2024

Mantan Menkominfo Johnny G. Plate divonis 15 tahun penjara setelah ditetapkan sebagai tersangka pada 17 Mei 2023 dalam kasus korupsi proyek pembangunan Base Transceiver Station (BTS) 4G yang dikerjakan Kemenkominfo. Johnny bersama sejumlah tersangka lainnya diduga melakukan pemufakatan jahat dengan cara menggelembungkan harga dalam proyek BTS dan mengatur pemenang proyek hingga merugikan negara mencapai Rp 8 triliun. TEMPO/M Taufan Rengganis
Bancakan Proyek Sengkarut Nasional

PPATK menemukan 36,67 persen aliran duit dari proyek strategis nasional mengalir ke politikus dan aparatur sipil negara. Perlu evaluasi total.