RENCANA pemerintah menaikkan iuran peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan di semua kelas merupakan langkah yang realistis. Kebijakan yang tak populer ini bahkan semestinya dilakukan sejak beberapa tahun lalu, tanpa harus menunggu pemilu selesai.
Hanya, tak cukup sekadar menarik iuran lebih besar, BPJS Kesehatan juga perlu berbenah, termasuk meredefinisi ruang lingkup layanan kesehatan yang ditanggung. Tanpa ikhtiar yang lain, kenaikan premi tidak akan bisa menutup besarnya defisit yang membelit lembaga tersebut. Nilai defisitnya diprediksi membubung hingga Rp 28 triliun pada tahun ini.
Besarnya defisit itu merupakan konsekuensi dari kebijakan yang ideal yang dilakukan di tengah keterbatasan anggaran negara. Pemerintah ingin menjamin hak setiap warga negara untuk mendapatkan seluruh layanan kesehatan. Tapi tujuan mulia ini menjadi tidak realistis karena tak didukung dengan anggaran yang cukup. Itu sebabnya, perlu langkah yang lebih rasional untuk menyehatkan keuangan BPJS Kesehatan.
BPJS Kesehatan semestinya lebih selektif dalam menentukan jenis penyakit yang pengobatannya ditanggung. Penyakit yang jelas-jelas timbul karena pola hidup tak menjaga kesehatan, misalnya kanker yang diderita pasien perokok, seharusnya tak perlu dijamin pengobatannya. Lembaga ini juga harus lebih ketat dalam memberikan layanan. Tak sedikit peserta yang baru mendaftar dan membayar iuran setelah sakit atau membutuhkan layanan BPJS Kesehatan.
Pengelolaan BPJS Kesehatan selama ini bertentangan dengan prinsip industri asuransi kesehatan yang seharusnya memiliki instrumen pengelolaan risiko yang ketat. Selain itu, prinsip aktuaria yang akurat harus dipenuhi. Artinya, besaran iuran idealnya sepadan dengan jenis layanan.
Iuran terendah atau kelas III saat ini sebesar Rp 25.500 per bulan. Adapun premi untuk kelas II sebesar Rp 51 ribu per bulan, dan termahal adalah premi untuk kelas I sebesar Rp 80 ribu per bulan. Besaran kenaikan yang diusulkan Dewan Jaminan Sosial Nasional adalah Rp 16.500 hingga Rp 40 ribu untuk tiap kelas. Artinya, untuk kelas III, diperkirakan preminya akan masih di bawah Rp 50 ribu per bulan.
Dengan iuran yang murah, peserta BPJS Kesehatan selama ini mendapat layanan kesehatan yang komplet. Peserta memperoleh layanan pemeriksaan kesehatan, rawat inap, beserta pengobatannya untuk berbagai macam penyakit. Proteksinya pun berlaku seumur hidup. Tak mengherankan, lembaga itu langsung tekor hingga Rp 3,3 triliun pada 2014 pada saat beroperasi pertama kali. Angka defisit itu bertambah menjadi Rp 9,1 triliun pada 2018 dan diperkirakan naik dua kali lipat pada tahun ini.
Pemerintah memang perlu menjamin kesehatan seluruh masyarakat, terutama kalangan yang kurang mampu. Hanya, kebijakan ini harus dilakukan lebih rasional dan cermat. Presiden Joko Widodo tak boleh membiarkan BPJS Kesehatan dalam kondisi megap-megap. Tak cuma menyehatkan keuangan lewat kenaikan iuran peserta, pemerintah juga harus mendorong lembaga ini segera berbenah, termasuk mencegah penggelembungan klaim jaminan kesehatan di daerah-daerah.