Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Menolak Hukuman Mati bagi Koruptor

image-profil

image-gnews
Pencabutan Hak Politik Koruptor
Pencabutan Hak Politik Koruptor
Iklan

Egi Primayogha
Peneliti Indonesia Corruption Watch

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan sedang mempertimbangkan ancaman hukuman mati bagi koruptor dalam kasus korupsi Bupati Kudus Muhammad Tamzil. Hukuman berat bagi koruptor adalah keharusan, tapi hukuman mati bukanlah pilihan yang pantas.

Muhammad Tamzil terancam dituntut hukuman mati karena telah dua kali terjerat kasus korupsi. Ia pernah divonis bersalah dalam kasus korupsi dana bantuan sarana dan prasarana pendidikan di Kabupaten Kudus tahun anggaran 2004-2005. Atas perbuatannya itu, ia dihukum 22 bulan penjara dan denda Rp 100 juta. Kali ini ia terjerat kasus suap jual-beli jabatan di lingkungan Pemerintah Kabupaten Kudus tahun anggaran 2019.

Hukuman mati bagi pelaku korupsi memang dimungkinkan. Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi secara eksplisit menyebutkan bahwa hukuman mati dapat dijatuhkan bagi pelaku tindak pidana korupsi dalam keadaan tertentu.

Dalam penjelasan pasal tersebut, disebutkan bahwa yang dimaksudkan keadaan tertentu adalah apabila tindak pidana dilakukan ketika negara berada dalam keadaan bahaya, terjadi bencana alam, mengulang tindak pidana korupsi, atau negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter. Tapi, sejak undang-undang itu diberlakukan, hukuman mati tidak pernah dijatuhkan bagi koruptor.

Salah satu alasan utama penjatuhan hukuman mati adalah efek jera. Alasan tersebut sering mengemuka apabila melihat rendahnya vonis yang dijatuhkan bagi koruptor. Indonesia Corruption Watch (ICW) menemukan rata-rata vonis bagi koruptor pada 2018 hanya 2 tahun 5 bulan penjara.

Rendahnya vonis terhadap koruptor memang menjadi permasalahan dalam upaya pemberantasan korupsi, tapi hukuman mati bagi koruptor bukan hukuman yang patut. Terlebih hukuman mati dijadikan alasan untuk menimbulkan efek jera. Efek jera dari hukuman mati menjadi alasan yang absurd, mengingat yang dihukum tak bisa lagi mengoreksi perbuatannya.

Dalam konteks kejahatan yang lebih luas, hukuman mati tidak pernah terbukti menurunkan tingkat kejahatan. Negara-negara dengan peringkat indeks persepsi korupsi (IPK) terbaik bahkan tidak menerapkan hukuman mati bagi koruptor. Negara-negara tersebut adalah Denmark, Selandia Baru, Finlandia, Singapura, dan Swedia. Kendati hukuman mati masih berlaku, Singapura tidak menerapkan hukuman mati bagi pelaku tindak pidana korupsi. Adapun Cina, yang terkenal dengan penerapan hukuman mati, pada 2018 justru berada di peringkat ke-87 dengan skor 39 dalam IPK.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Alasan lain hukuman mati bukan langkah yang patut adalah penghormatan terhadap kemanusiaan. Hukuman mati melanggar hak untuk hidup dan merupakan bentuk pelanggaran terkeji terhadap hak asasi manusia.

Dengan menolak hukuman mati, lantas hukuman apa yang pantas bagi koruptor? Pertanyaan ini akan selalu mengemuka jika berhadapan dengan fakta masih maraknya korupsi di Indonesia. Apabila ditelisik lebih jauh, sejatinya terdapat sejumlah upaya penjatuhan hukuman yang masih langka dilakukan oleh aparat penegak hukum.

Pertama, penjatuhan hukuman maksimal, yakni pidana 20 tahun atau seumur hidup. Hukuman seumur hidup pernah dijatuhkan kepada mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar.

Kedua, pencabutan hak politik. Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana telah mengatur pencabutan hak politik sebagai pidana tambahan. Pencabutan hak politik, yakni hilangnya hak untuk memilih dan/atau dipilih dalam pemilihan umum, dapat dikenakan bagi koruptor. Tentu saja langkah ini harus dilakukan secara jelas dan transparan agar tetap sejalan dengan hak asasi manusia.

Ketiga, pemiskinan koruptor. Penggunaan Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang harus digencarkan oleh aparat penegak hukum untuk merampas aset koruptor.

Kendati diatur oleh hukum positif di Indonesia, hukuman mati semestinya tak menjadi pilihan. Hukuman lain lebih layak dijatuhkan untuk menimbulkan efek jera bagi koruptor.

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

22 jam lalu

Sertijab Pj Bupati Musi Banyuasin
Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.


Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

21 hari lalu

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi secara resmi membuka Pos Koordinasi (Posko) Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024 di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta.


23 hari lalu


Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

29 hari lalu

Ilustrasi perang sosial media. / Arsip Tempo: 170917986196,9867262
Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.


AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

33 hari lalu

UKU dan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) menggelar konferensi pers di The Acre, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis, 21 Maret 2024. TEMPO/Savero Aristia Wienanto
AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.


DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

49 hari lalu

Badan Anggaran (Banggar) bersama Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) kembali membahas Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) 2024 di Ruang Rapat Paripurna, DPRD DKI Jakarta, Senin, 30 Oktober 2023. Tempo/Mutia Yuantisya
DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.


Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

49 hari lalu

Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh memberikan pidato politiknya secara virtual pada acara HUT ke-12 Partai Nasdem di NasDem Tower, Jakarta, Sabtu 11 November 2023. HUT tersebut mengambil tema
Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.


H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

15 Februari 2024

Pekerja mengangkut beras di Gudang Bulog Kelapa Gading, Jakarta, Senin, 5 Januari 2024. Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan memastikan persediaan bahan pokok, terutama beras, cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat menjelang Ramadan 1445 Hijriah. TEMPO/Tony Hartawan
H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.


Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.


Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Cuplikan film Dirty Vote. YouTube
Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.