Padamnya listrik di hampir separuh Pulau Jawa pada Ahad lalu menunjukkan betapa tidak siapnya manajemen PT PLN (Persero) menghadapi situasi darurat. Tak hanya gagal mengatasi masalah dengan sigap, selama seharian, manajemen PLN gelagapan menjelaskan mengapa listrik mati total hampir 8 jam di Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Banten itu.
Direksi PLN akhirnya menjelaskan bahwa krisis terjadi lantaran sistem transmisi listrik bagian timur dan barat Pulau Jawa terputus. Pemicunya adalah gangguan jaringan sirkuit Ungaran-Pemalang, Jawa Tengah, yang segera merembet ke sirkuit lainnya. Kurang meyakinkan, penjelasan yang terlambat itu tak bisa memulihkan reputasi PLN yang rontok dalam hitungan jam.
Sebagai perusahaan negara dengan aset sekitar Rp 1.302 triliun, PLN seharusnya memiliki sistem mitigasi yang komprehensif untuk menanggulangi situasi krisis. Apalagi, yang dikelola PLN adalah energi listrik yang merupakan energi primer, sekaligus "darah" yang menggerakkan perekonomian negara. Setiap kali layanan PLN terganggu, efeknya adalah rantai kekacauan yang panjang.
Permintaan maaf berulang dari direksi PLN tidaklah cukup. Konsumen PLN berhak memperoleh kepastian kapan gangguan itu akan teratasi. Lebih dari kepantasan dalam relasi produsen-konsumen, ada konsekuensi hukum seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan. Pasal 29 undang-undang itu menyebutkan konsumen berhak mendapat tenaga listrik secara terus-menerus dengan mutu dan keadaan yang baik. Apabila terjadi pemadaman akibat kesalahan penyedia tenaga listrik, konsumen berhak mendapat ganti rugi. Bila selama ini PLN tegas memutus aliran listrik konsumen yang menunggak, tak berlebihan bila konsumen kini menuntut balik PLN.
Memulihkan dengan segera pasokan listrik, seperti yang diminta Presiden Joko Widodo, merupakan tanggung jawab jangka pendek PLN. Lebih penting lagi, dalam jangka panjang, gangguan yang tak terkontrol seperti kali ini jangan terulang. Untuk itu, perlu pembenahan radikal dalam manajemen PLN.
Ketidaksiapan PLN menghadapi situasi darurat tak bisa dipisahkan dari karut-marutnya manajemen perusahaan pelat merah ini. PLN merupakan perusahaan negara yang direkturnya paling banyak terjerat kasus korupsi. Terakhir, PLN kehilangan direktur utamanya setelah Komisi Pemberantasan Korupsi menahan Sofyan Basir pada Mei lalu.
Bukan rahasia lagi, selama ini jabatan direksi PLN kerap diisi orang-orang yang diangkat karena pertimbangan politis, bukan karena rekam jejak profesionalnya. Pada setiap periode pemerintahan, partai yang berkuasa pun kerap menjadikan PLN sebagai sapi perah. Intervensi yang hampir menjadi tradisi itu harus segera diakhiri.
Pada periode kedua jabatannya, Presiden Joko Widodo mesti membuktikan bahwa energi listrik bukanlah logistik politik. Karena itu, dalam pengisian jabatan direksi PLN, kepentingan politik praktis harus dijauhi. Direksi PLN semestinya diisi orang yang ahli, profesional, tidak korup, serta tidak membebek pada kepentingan politik jangka pendek.