Penetapan Direktur Keuangan PT Angkasa Pura II, Andra Y. Agussalam, sebagai tersangka mengindikasikan amburadulnya tata kelola badan usaha milik negara (BUMN) itu. Komisi Pemberantasan Korupsi menduga Andra menerima besel sebesar Sin$ 96.700 berkaitan dengan proyek pengadaan sistem penanganan bagasi (baggage handling system). Status tersangka ini menambah panjang daftar petinggi perusahaan negara yang terlibat perkara korupsi.
Indikasi keterlibatan Andra dalam pusaran perkara sangat telak. Ia ditengarai terlibat aktif mengatur agar proyek di enam bandara itu jatuh ke pangkuan PT Industri Telekomunikasi Indonesia (INTI), yang juga berstatus perusahaan pelat merah. Caranya, mengarahkan Angkasa Pura Properindo-anak usaha Angkasa Pura II-agar melakukan penunjukan langsung dan tidak menggelar tender seperti rencana semula.
Padahal, dalam pedoman perusahaan, penunjukan langsung hanya dapat dilakukan apabila terjadi justifikasi dari unit teknis bahwa barang atau jasa hanya disediakan satu pabrikan, satu pemegang paten, atau perusahaan yang memiliki izin dari pemilik paten. Namun Andra mengabaikan rambu-rambu itu.
Praktik lancung yang dilakukan Andra-juga Taswin Nur, staf pegawai PT INTI yang diduga menyerahkan duit-jelas menerabas lima prinsip tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance), yakni keterbukaan, akuntabilitas, tanggung jawab, independensi, dan kesetaraan. Baik menerima maupun menyerahkan suap serta meniadakan kesempatan yang sama bagi pelaku usaha lain melalui kompetisi yang sehat merupakan praktik lancung. Andra juga diduga "bermain" dalam proyek pengadaan yang lain.
Apa yang terjadi di Angkasa Pura II dan PT INTI menambah panjang daftar petinggi perusahaan negara yang terjerat kasus korupsi. Hal tersebut merupakan akibat dari praktik penunjukan direksi dan komisaris BUMN yang kerap mengabaikan integritas dan kapabilitas. Mereka dipilih karena memiliki kedekatan dengan partai politik dan petinggi negeri. Bagi-bagi kursi semacam ini melabrak sistem merit sekaligus membuka peluang praktik lancung di perusahaan negara yang memiliki total aset Rp 8.207 triliun.
Celakanya lagi, pelaksanaan tata kelola badan usaha milik negara tampaknya tak pernah menjadi perhatian serius pemerintah. Satu-satunya instrumen yang mengawasi pelaksanaan tata kelola hanya Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor 01/MBU/2011 tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik pada Badan Usaha Milik Negara. Isinya pun cuma imbauan tanpa kejelasan sanksi bagi pelanggarnya. Tidak mengherankan jika pencegahan korupsi dan pengawasan internal terhadap pengelolaan BUMN amat lemah.
KPK menyebutkan sepanjang 2004-2018 terdapat 56 BUMN/BUMD yang tersangkut kasus korupsi. Sederet perkara itu seharusnya menjadi alarm bagi pemerintah untuk serius memperkuat pengawasan internal dan sistem pencegahan korupsi di perusahaan negara. Termasuk penggunaan sistem merit dalam proses seleksi komisaris dan direksi. Tanpa itu semua, petinggi perusahaan negara akan terus terperosok ke kubangan korupsi.