Kebebasan dalam menjalankan ibadah di Indonesia kembali tercoreng. Dalam sepekan ini, ada dua peristiwa yang memperlihatkan sulitnya pendirian tempat ibadah. Yang lebih menyesakkan lagi, kali ini pelakunya adalah pejabat publik.
Di Bantul, Yogyakarta, Bupati Suharsono mencabut izin pendirian Gereja Immanuel Sedayu pada Jumat lalu. Sebagai kepala daerah yang semestinya melindungi warganya untuk menjalankan ibadah, ia justru menjadi pelaku dalam mencoreng kebebasan dan toleransi beragama.
Mirip di Bantul, kerukunan beragama di Minahasa Utara, Sulawesi Utara, juga ternoda oleh ulah Kepala Desa Tumaluntung, Ifonda Nusah, yang menyegel musala di Perumahan Agape Griya. Video penyegelan ini viral sejak Sabtu lalu. Alasan kepala desa klasik: pendirian tempat ibadah itu harus berizin.
Dua kejadian itu menunjukkan bahwa kelompok minoritas kerap sulit mendapatkan izin mendirikan tempat ibadah. Jemaat Gereja Immanuel di Sedayu, Bantul, merupakan warga minoritas agama di tengah mayoritas warga muslim di sana. Sebaliknya, penduduk muslim di Minahasa Utara merupakan kelompok minoritas di tengah masyarakat Kristen.
Polanya pun mirip. Bupati dan kepala desa melakukan tindakan tak elok itu setelah mendapat tekanan dari kelompok intoleran, atau atas nama penolakan dari warga sekitar. Padahal, dengan alasan apa pun, aksi sepihak penutupan paksa tempat ibadah tidak bisa dibenarkan.
Biang tindakan diskriminatif itu adalah Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Tahun 2006. Peraturan ini memuat, antara lain, prosedur dan syarat pendirian tempat ibadah. Baik bupati maupun kepala desa tersebut bersembunyi di balik aturan ini dalam menutup tempat ibadah.
Sesuai dengan aturan itu, pendirian tempat ibadah membutuhkan paling sedikit 90 nama pengguna tempat ibadah yang disahkan pejabat setempat. Selain itu, pendirian tempat ibadah harus didukung sedikitnya 60 warga setempat dan disahkan oleh lurah atau kepala desa.
Kebijakan ini tak relevan dalam negara Indonesia yang memberikan kebebasan beragama kepada warganya. Aturan ini justru kerap digunakan oleh kaum mayoritas dan pejabat sebagai alat untuk mendiskriminasi kelompok minoritas. Di daerah mayoritas muslim, warga menghambat pembangunan gereja. Sebaliknya, di wilayah yang dihuni mayoritas pemeluk Nasrani, pendirian masjid dipersulit.
Pemerintah sebaiknya segera merevisi total peraturan bersama itu. Pendirian rumah ibadah tidak bergantung pada kemurahan hati pemuka agama atau masyarakat sekitar yang berbeda keyakinan agama. Pemerintah hanya perlu mengatur agar pelaksanaan hak itu tidak melanggar hak warga yang lain.
Lahirnya peraturan bersama justru merusak kerukunan dan kebebasan beragama. Kepentingan kaum minoritas tidak terlindungi. Aturan itu juga menabrak konstitusi yang mewajibkan negara menjamin kebebasan dalam menjalankan ibadah agama.