Ahmad Khoirul Umam
Managing Director Paramadina Public Policy Institute
Kerja pemberantasan korupsi bukan semata-mata kerja penegakan hukum, melainkan juga kerja politik. Agresivitas pemberantasan korupsi akan selalu memicu lahirnya serangan balik dari kekuatan-kekuatan korup. Karena itu, pemberantasan korupsi selalu membutuhkan dukungan dari pemimpin politik tertinggi suatu negara (Quah, 1999). Keberpihakan presiden sebagai pemimpin politik tertinggi akan memberikan perlindungan yang memadai bagi lembaga dan aktor-aktor antikorupsi, baik dalam konteks keselamatan jiwa, kelancaran investigasi, efektivitas pencegahan, maupun pendanaan lembaga antikorupsi.
Meski demikian, komitmen politik pemimpin untuk mendukung lembaga antikorupsi tidak mudah terjadi (Aspinall, 2012; Umam, 2018). Sebab, bagi para pemangku kepentingan politik di negeri ini, keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seolah-olah merepotkan mereka. Saat sejumlah kekuatan politik membutuhkan taring dan kuku tajam KPK untuk menerkam lawan dan kompetitor politik mereka, penguatan KPK dioptimalkan. Mekanisme politik dijalankan untuk mendapatkan figur-figur kuat, sangar, agresif, dan tak gentar terhadap kekuasaan. Sebaliknya, saat KPK dianggap merepotkan, figur-figur yang "slow" justru ditempatkan sebagai nakhoda KPK.
Kini, gerakan masyarakat sipil yang selama ini menjadi pilar sehat bagi gerakan antikorupsi juga seolah-olah senyap dan kurang bergairah. Besar kemungkinan hal itu dipengaruhi oleh adanya fragmentasi akibat polarisasi dan keberpihakan para aktivis antikorupsi dalam konstelasi politik nasional. Sejumlah nama besar aktivis antikorupsi masa lalu telah berada di tiap kubu politik, tidak lagi fokus dan lantang menyuarakan agenda antikorupsi. Pada saat yang sama, polarisasi juga merambah media, yang semula menjadi mitra strategis KPK.
Semua kondisi ini seolah-olah mengkonfirmasi cara pandang tradisi strukturalisme yang menggariskan bahwa reformasi sejatinya telah dibajak oleh kekuatan korup yang selama ini menyelinap ke dalam pilar-pilar demokrasi di negeri ini. Laku keseharian dalam ranah politik dan pemerintahan tak ubahnya kelanjutan dari tradisi korup yang dibungkus dengan narasi-narasi perubahan semu (Robison, 2004; Winters; 2013). Pada saat yang sama, harapan besar terhadap kekuatan masyarakat sipil dihadapkan pada kenyataan akan mudahnya polarisasi dan fragmentasi di tubuh masyarakat sipil yang membuat pergerakan dan perjuangan mereka cenderung tidak berkelanjutan (Hadiz, 2013; Robison, 2013).
Kondisi politik semacam ini menjadi peringatan keras bagi semua pihak, terutama presiden sebagai panglima tertinggi dalam agenda pemberantasan korupsi. KPK tidak bisa dibiarkan sendirian mengurai benang kusut dan menata kesemrawutan negeri ini. Ke depan, kerja KPK tidak boleh lagi disandarkan pada kerja-kerja pemberantasan korupsi yang sporadis dan tak tentu arah. Tingginya capaian penyidikan dan operasi tangkap tangan (OTT) dengan wilayah target yang berulang bukanlah pencapaian. Keberhasilan KPK diukur dari kemampuannya mengidentifikasi persoalan, menjalankan fungsi penindakan, dan memastikan solusi berjalan melalui fungsi pencegahan.
Tahun lalu, Presiden Joko Widodo telah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2018 tentang Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi sebagai kelanjutan dari strategi nasional 2012 pada era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Namun kerja-kerja pencegahan itu masih tampak belum efektif, yang dibuktikan dengan masih tingginya praktik korupsi di sektor yang sama, yang telah disidik oleh KPK.
Sebagai pemimpin tertinggi, presiden adalah penentu bagaimana orkestra kinerja antikorupsi antara KPK, Badan Perencana Pembangunan Nasional, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara, dan aparat penegak hukum bisa dijalankan. Jika tidak, Indonesia akan selalu terjebak dalam fenomena treadmill effect: seolah-olah berlari sekuat tenaga, tapi masih berada di tempat yang sama. Hal itu dikonfirmasi oleh stagnasi indeks persepsi korupsi dari tahun ke tahun.
Ke depan, pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin harus benar-benar mampu menjalankan amanat pemberantasan korupsi. Jangan lagi ada elite politik di lingkaran kekuasaan yang mengeluarkan "instruksi klise dan bersayap" agar kerja-kerja pemberantasan korupsi tidak memicu instabilitas politik dan mengganggu pembangunan.
Pada saat yang sama, pemimpin KPK mendatang juga harus memiliki visi yang jelas dan peta jalan pemberantasan korupsi. Pada 2011, KPK dan pemerintahan SBY merumuskan peta jalan yang berhasil mengidentifikasi empat sektor strategis dengan kerugian negara paling banyak, yakni sektor infrastruktur, pangan, energi, dan politik-pemerintahan.
Pemimpin KPK yang baru harus tahu sektor mana yang menjadi prioritas utama kinerjanya. Hal ini juga akan memudahkan kerja-kerja koordinasi dan supervisi dengan lembaga-lembaga pemerintah lainnya sekaligus agar presiden paham ke mana otoritas politiknya dapat dioptimalkan untuk mendorong kerja-kerja antikorupsi. Tanpa hal itu, kondisi saat ini akan menjadi masa "awal dari akhir" eksistensi KPK. KPK mungkin akan tetap ada, tapi tidak terasa dampaknya terhadap perubahan integritas dan kualitas tata kelola pemerintahan.