Dominikus Dalu Sogen
Asisten Madya Ombudsman pada Ombudsman RI
Putusan peninjauan kembali oleh Mahkamah Agung (MA) atas kasus Baiq Nuril telah menjadi perhatian masyarakat. Sebagai upaya memperoleh keadilan, Baiq sudah mengajukan permohonan amnesti kepada Presiden. Selanjutnya, Presiden menyampaikan rekomendasi kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk memperoleh pertimbangan. Bila tidak ada halangan, pemerintah akan memberikan amnesti kepada Baiq setelah memperoleh pertimbangan dari DPR.
Sementara itu, tidak ada upaya hukum lain atas putusan MA yang menghukum Baiq dengan pidana penjara 6 bulan dan denda Rp 500 juta sebagaimana putusan kasasi MA sebelumnya. Tulisan ini menyoroti bagaimana putusan hukum yang tidak sejalan dengan rasa keadilan masyarakat.
Sebagai perwujudan negara hukum, apa pun putusan pengadilan, haruslah dihormati karena terdapat asas kemerdekaan kekuasaan kehakiman dalam memutus perkara. Namun, sebebas-bebasnya kekuasaan hakim, hal itu juga dibatasi oleh nilai-nilai keadilan yang berkembang dan hidup di masyarakat.
Hakim atau pengadilan bukanlah menara gading yang putusannya keras dan semata-mata demi kepastian dalam penegakannya (lex dura sed tamen scripta). Namun, menurut Notohamidjojo (1973:12), hukum juga mengandung keadilan protektif (iustitia tutatrix), yakni yang memberikan pengayoman kepada setiap orang.
Keadilan memiliki tingkat kepentingan yang besar. John Rawls-filsuf politik terkemuka Amerika Serikat-menyebutkan bahwa keadilan adalah kebajikan (virtue) pertama dari institusi sosial, sebagaimana halnya kebenaran pada sistem pemikiran. Keadilan pada intinya adalah meletakkan segala sesuatu pada tempatnya.
Sudahkah para hakim yang memutus perkara Baiq menerapkan dan meletakkan hukum pada tempatnya? Ketidakadilan dalam kasus Baiq harus dilawan dengan gerakan sosial dan politis, sehingga dukungan semua pihak diharapkan dapat memberikan rasa keadilan kembali kepada masyarakat yang membutuhkan.
Setiap putusan pengadilan selalu diberi irah-irah "demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa". Tanpa irah-irah tersebut, suatu putusan tidak memiliki kekuatan hukum berlakunya (Pasal 197 KUHAP). Karena itu, dalam persidangan, hakim selaku corong keadilan menjadi jembatan untuk mewujudkan keadilan hukum dengan keadilan moral agar keadilan menjadi nyata dan dirasakan oleh para pencari keadilan.
Makna yang terkandung dalam mengadili perkara adalah memberikan rasa keadilan. Maka, bagaimana mungkin putusan atas suatu perkara yang sejak awal menjadi perhatian publik ternyata tidak sejalan dengan rasa keadilan masyarakat? Padahal, tugas hakim, selain sebagai corong undang-undang, adalah sebagai corong masyarakat dalam menyuarakan keadilan. Tidakkah hakim peka bahwa kasus yang menimpa BN memperoleh perhatian luas masyarakat karena ia merupakan korban pelecehan seksual?
Putusan hakim tidak berdiri di ruang hampa. Selain memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat agar tercipta ketertiban umum dan kepastian hukum, putusan hakim menjadi jembatan untuk memperoleh keadilan. Bila kemudian pemerintah memberikan amnesti dan tentunya putusan MA dengan sendirinya tidak dapat dieksekusi, hukum dianggap tidak bermanfaat bagi pencari keadilan. Lantas apa yang menjadi tugas hakim sesungguhnya?
Dalam suatu penanganan laporan masyarakat di Ombudsman RI, hakim pernah memutus perkara kecelakaan lalu lintas dengan hukuman percobaan. Padahal, pelaku tidak memiliki surat izin mengemudi dan menabrak orang hingga meninggal dunia. Benar bahwa hakim bebas memutus perkara berdasarkan keyakinannya dan Ombudsman tidak dapat mencampuri kebebasan hakim dalam memutus perkara, mengingat hal tersebut merupakan kewenangan hakim. Namun apakah patut hukuman tersebut hanya berupa hukuman percobaan? Bagaimana rasa keadilan bagi keluarga korban, karena korban adalah tulang punggung keluarga?
Praktik hukuman semacam ini sering terjadi di pengadilan kita. Tindakan koreksi yang disampaikan Ombudsman di pengadilan pada waktu itu sebatas perbaikan untuk tidak mengulang hal yang sama dalam penanganan perkara selanjutnya karena terikat dengan ketentuan Pasal 9 Undang-Undang Ombudsman, yakni tidak boleh mencampuri independensi hakim dalam memutus perkara.
Setiap hakim tentunya sudah dibekali dengan pemikiran bahwa ia bertanggung jawab menghadirkan keadilan kepada masyarakat dan mencari kebenaran. Hakim hendaknya mengintegrasikan terciptanya hukum dengan bersandar pada aturan, tapi juga tidak terbelenggu dengan aturan tersebut. Ia wajib menggali dan mendengar apa yang menjadi aspirasi masyarakat sehingga keadilan dapat tercipta. Perlu ingat kata pepatah: errare humanum est, turpe in errore perseverare.Membuat kekeliruan itu manusiawi, tapi mempertahankan terus kekeliruan tidaklah baik.