Ronny P. Sasmita
Direktur Eksekutif Economic Action Indonesia
Perang dagang antara Amerika Serikat dan Cina, yang berlangsung sejak tahun lalu, tampaknya memang semakin menggerogoti ekspor kita. Apalagi praktis tidak ada terobosan yang dilakukan pemerintah. Padahal, ekspor sangat diperlukan untuk memperkuat cadangan devisa negara, membantu stabilisasi nilai tukar rupiah, mengakselerasi pertumbuhan ekonomi, menyediakan lapangan kerja, meningkatkan daya tahan ekonomi nasional, dan meningkatkan kepercayaan investor. Devisa yang besar sangat dibutuhkan untuk membayar kebutuhan impor serta bunga dan utang luar negeri pemerintah.
Perang dagang telah membuat nilai ekspor pada Januari-Mei 2019 merosot dibanding periode yang sama pada 2018. Ekspor turun 8,61 persen ke angka US$ 68,46 miliar, terutama karena ekspor nonmigas turun 7,33 persen menjadi US$ 63,12 miliar. Ekspor migas juga melemah ke US$ 5,34 miliar. Imbasnya, defisit neraca perdagangan semakin menganga, meski sebenarnya impor juga turun. Dengan impor yang mencapai US$ 70,60 miliar, defisit dalam lima bulan pertama tahun ini menembus US$ 2,14 miliar. Padahal, ekspor kita pernah mencapai angka tertinggi US$ 203,50 miliar pada 2011 dengan surplus menembus US$ 26,06 miliar.
Namun, berkaca kepada Amerika, di tengah ayunan perang dagang, pertumbuhan ekonominya tetap mampu melesat ke level 3,1 persen pada kuartal pertama tahun ini dibanding 2 persen pada triwulan yang sama tahun lalu. Sebagai negara dengan produk domestik bruto (PDB) terbesar di dunia, cerahnya prospek Amerika dan mulai meredanya perang dagang tentu memberi sentimen positif pada pelataran ekonomi global, yang salah satunya tecermin dari dinamika pasar finansial. Lihat saja, harga saham-saham perusahaan di bursa Wall Street melejit hingga 14,8 persen year-to-date, yang ikut mendorong pemulihan pasar saham global, termasuk Indonesia.
Maka, pasar modal dunia dan domestik diprediksi menjadi lebih kuat dan stabil, terutama pada kuartal ketiga tahun ini hingga tahun depan. Tanda-tanda lainnya, investasi global pun sudah mulai terlihat mengalir kembali ke Bursa Efek Indonesia (BEI) dengan asing kembali mencatatkan beli bersih (net buy) saham senilai Rp 69,97 triliun year-to-date. Tak pelak, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terdorong ikut melaju ke zona hijau, tumbuh 2,71 persen year-to-date dibanding pada 2018, yang minus 2,54 persen atau terburuk dalam tiga tahun terakhir.
Masuknya kembali dana asing diharapkan bisa mengakhiri banjir modal keluar selama dua tahun belakangan. BEI mencatat, jual bersih (net sell) oleh asing pada 2018 menembus Rp 50,75 triliun, lebih parah dibanding pada 2017 yang sebesar Rp 39,87 triliun. Memang, kinerja pasar saham kita belum sepenuhnya pulih, sejalan dengan kinerja ekonomi kita yang terbilang jalan di tempat. Sebagai negara berkembang, ekonomi Indonesia hanya tumbuh sekitar 5 persen dan defisit perdagangan justru kian membengkak.
Pertumbuhan ekonomi pada kuartal I 2019 hanya 5,07 persen, di bawah ekspektasi sebelumnya, meski ada kenaikan tipis dibanding periode yang sama tahun sebelumnya, yang sebesar 5,06 persen. Di sisi lain, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indonesia tahun lalu mengalami defisit perdagangan US$ 8,5 miliar, yang terburuk sepanjang sejarah Republik. Pasalnya, defisit transaksi dagang dengan Cina membengkak hingga menembus US$ 20,85 miliar, yang berdampak depresiasi rupiah kira-kira 6,89 persen, tahun lalu.
Untuk menyelamatkan ekonomi nasional, tampaknya pemerintah memang perlu mengambil langkah tegas dan menetapkan langkah strategis perdagangan antara Indonesia dan Cina agar Cina bersedia menegosiasikan kesepakatan perdagangan yang lebih adil bagi Indonesia.
Di dalam negeri, pemerintah diharapkan segera merealisasi rencana penurunan pajak penghasilan badan, yang saat ini masih 25 persen, jauh lebih tinggi daripada tetangga seperti Singapura, yang sudah 17 persen. Bahkan pajak korporasi di Amerika pun sudah dipangkas, dari 35 persen menjadi 21 persen, oleh Presiden Donald Trump. Hal tersebut penting disegerakan jika pemerintah ingin melihat kapasitas ekonomi domestik kita bisa menggeliat.
Belakangan ini, dunia usaha terpukul oleh banyak persoalan. Depresiasi rupiah membuat impor bahan baku semakin mahal. Kenaikan upah pekerja lumayan signifikan. Ketidakpastian ekonomi berjalan cukup lama. Kebijakan fiskal pun kurang bertenaga dalam memberi oli pelicin pada aktivitas perekonomian.
Hal lain adalah soal kebijakan untuk industri yang banyak menyerap tenaga kerja dan menyumbang devisa ekspor besar. Pemerintah perlu segera menetapkan insentif tarif bea masuk tindakan pengamanan atau safeguard, dari hulu sampai ke hilir. Di hilir, pemerintah perlu melindungi industri kain dan garmen serta di hulu memproteksi industri serat sintetis dan benang. Penerapan safeguard semacam ini diproyeksikan bisa memangkas impor kain sampai 50 persen menjadi 400 ribu ton per tahun. Masalahnya, selama ini kain impor membanjiri pasar domestik karena harganya 30 persen lebih murah daripada produk lokal. Asosiasi Synthetic Fiber mencatat impor kain mencapai 800 ribu ton per tahun dengan nilai sekitar US$ 9 miliar.