Reaksi manajemen Garuda Indonesia dalam menghadapi kritik pelanggannya sendiri sungguh tidak profesional. Ketika foto menu makanan bertulis tangan pada penerbangan Garuda dari Sydney, Australia, ke Denpasar, Bali, menjadi viral di media sosial, alih-alih meminta maaf, maskapai itu justru melarang penumpangnya mengambil video dan foto di atas pesawat.
Meski pengumuman tersebut belakangan diralat, respons semacam itu mengindikasikan keengganan maskapai Garuda untuk mendengarkan masukan dari konsumen. Ketika banyak perusahaan beramai-ramai meminta masukan publik untuk memperbaiki kinerja mereka, perilaku Garuda menandakan kultur dan strategi korporasi yang ketinggalan zaman.
Insiden ini sendiri berawal dari vlog yang dibuat YouTuber Rius Vernandes dan tunangannya, Elwiyana Monica, ketika naik pesawat Garuda di kelas bisnis, pada Sabtu pekan lalu. Di tengah perjalanan, Rius keheranan ketika pramugari tak membagikan menu makanan seperti laiknya penerbangan lain. Rupanya menu Garuda belum rampung dicetak. Sebagai gantinya, pramugari membacakan menu dari secarik kertas yang ditulis tangan.
Rius kemudian memotret menu unik itu lalu mengunggahnya ke Instagram. Dengan cepat, kisah ini menarik perhatian. Bagaimana mungkin Garuda, maskapai terbaik ke-12 sedunia versi lembaga pemeringkat asal Inggris, Skytrax, tak punya daftar menu makan yang tercetak rapi?
Tiga hari setelah itu, Garuda menerbitkan larangan mengambil foto dan video di dalam pesawat, dengan alasan untuk menjaga ketertiban. Mereka juga berdalih larangan itu perlu untuk keselamatan penerbangan. Garuda mengklaim aturan itu selaras dengan Undang-Undang Penerbangan dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Ini jelas mengada-ada, karena selama ini larangan mengaktifkan peralatan elektronik hanya berlaku saat pesawat lepas landas.
Setelah habis-habisan dihujat di media sosial, manajemen Garuda berbalik arah, mengatakan larangan itu baru berupa draf. Kebijakan itu sempat meredakan gelombang kritik warganet. Namun belakangan Serikat Karyawan Garuda memperkeruh suasana dengan melaporkan Rius dan Elwiyana ke Kepolisian Resor Soekarno-Hatta dengan tuduhan pencemaran nama.
Berbagai blunder ini menandakan jajaran direksi dan karyawan Garuda tidak paham pentingnya mendengarkan saran dan kritik warga. Di belahan bumi mana pun, penilaian publik atas kekurangan dan kelebihan suatu produk teramat bernilai. Banyak perusahaan justru memanfaatkan tren selfie dan vlog untuk memasarkan dan menguatkan brand image mereka.
Karena itu, polisi sudah seharusnya tak menindaklanjuti laporan Serikat Karyawan Garuda. Unggahan Rius di media sosial tak bisa dikategorikan sebagai fitnah atau kabar bohong. Para pegawai maskapai itu sebaiknya segera mencabut laporan mereka di kantor polisi.
Setelah insiden laporan keuangan yang keliru dan dijatuhi sanksi Otoritas Jasa Keuangan, ini adalah kesalahan fatal kedua manajemen Garuda. Sudah sepantasnya Kementerian BUMN menyegarkan direksi maskapai ini agar tak terus menjadi sorotan dan kinerjanya kembali jadi kebanggaan kita semua.