Ridha Aditya Nugraha
Pengajar Air and Space Law Studies Universitas Prasetiya Mulya
Kehadiran Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 20 Tahun 2019 belum efektif menurunkan harga tiket penerbangan domestik. Kini, pemerintah mengupayakan cara lain dengan menurunkan tarif penerbangan rute tertentu pada waktu tertentu untuk maskapai berbiaya hemat. Bila gagal, bukan mustahil kebijakan selanjutnya adalah pembukaan rute penerbangan domestik bagi maskapai asing atau cabotage.
Istilah "cabotage" pertama kali diperkenalkan di Prancis pada abad ke-17. Cabotage didefinisikan sebagai navigasi antar-pelabuhan dalam satu negara. Saat itu, Prancis memiliki 200 lebih pelabuhan. Menyambut era merkantilisme, Raja Prancis Henry IV mengenakan pajak bagi kapal asing pelaku cabotage. Pada 1791, cabotage dilarang dengan alasan kedaulatan perekonomian negara terancam.
Konvensi Chicago 1944 selaku "magna carta" hukum udara mengatur cabotage. Walaupun hanya satu pasal, keberadaannya menegaskan kedaulatan negara atas ruang udara bersifat mutlak. Perihal kepentingan ekonomi (traffic rights) diatur secara terpisah melalui Freedoms of the Air. Saat perang dingin, pertimbangan aspek pertahanan membuat cabotage dilarang ketat. Penerapannya melunak ketika bisnis penerbangan memasuki era-liberalisasi pada 1980-an.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan mengharamkan asas cabotage. Sejauh ini, hak menerbangi rute domestik hanya diberikan kepada maskapai berbendera Merah-Putih.
Skenario cabotage membuat maskapai asing berkompetisi pada rute domestik bukan sebagai investasi asing langsung berbentuk perseroan terbatas seperti AirAsia Indonesia. Tanpa investasi asing langsung (baca: modal ditahan), maskapai regional dapat keluar-masuk kapan saja. Ini membuat komitmen mereka minim, mengingat kedatangannya bermotif mencari keuntungan. Akibatnya, pemerintah sebenarnya tidak dapat bergantung kepada mereka dalam upaya meningkatkan konektivitas domestik. Tanpa menihilkan upaya menciptakan harga tiket yang kompetitif, kehadiran maskapai regional minim manfaat jika hanya menerbangi rute gemuk.
Kita dapat berkaca pada kasus India. Setiap maskapai penerbangan di sana wajib menerbangi beberapa kategori rute tertentu sebagai upaya meningkatkan konektivitas domestik. Slot rute gemuk dijamin sebagai wujud subsidi silang atas inisiatif pembukaan rute baru. Ekspansi maskapai swasta diatur secara komprehensif melalui suatu dasar hukum dan bukan sekadar lobi.
Selain itu, besar kemungkinan pilot dan teknisi muda Indonesia menjadi korban bila maskapai asing masuk. Sekarang saja masih banyak lulusan yang menganggur. Sementara itu, tidak ada jaminan pekerjaan dari kehadiran maskapai asing pada saat bisnis penerbangan global berbicara tentang efisiensi.
Cabotage juga bersinggungan dengan isu pertahanan. Dalam keadaan darurat, penggunaan pesawat sipil merupakan salah satu langkah terefektif dalam memobilisasi tentara. Namun maskapai asing akan minim kepentingan mengalokasikan armadanya untuk konflik internal Republik. Terlebih jika konflik terjadi dengan negara asal investor atau tidak sejalan dengan nilai-nilai lessor pesawat ataupun kepentingan pihak asuransi.
Tragedi MH17 menggambarkan pentingnya peranan kapital. Konflik di Ukraina itu membuat sebagian ruang udaranya ditutup. Sejumlah maskapai penerbangan memilih tetap melintasinya karena rute tersebut merupakan jalur tersingkat menuju Asia. Efisiensi diperlukan mengingat melambungnya harga minyak dunia.
Namun beberapa maskapai memilih jalan memutar untuk menghindari ruang udara Ukraina. Ultimatum perusahaan asuransi, bukan rekomendasi International Civil Aviation Organization (ICAO) ataupun negara, melatarbelakangi keputusan tersebut. Analogi itu mendasari premis bahwa perusahaan asuransi berpotensi mendikte maskapai penerbangan asing untuk tidak mencampuri konflik internal Indonesia.
TNI Angkatan Udara kemudian harus meningkatkan kewaspadaan, mengingat sebagian bandar udara merupakan pangkalan udara yang berfungsi ganda, untuk komersial dan pertahanan. Ancaman nanti bukan lagi kehadiran fisik pesawat asing semata, tapi merambah hingga keamanan siber penerbangan. Kerja sama dengan Angkasa Pura diperlukan guna menangkal segala ancaman sedini mungkin.
Kesimpulannya, skenario cabotage berpotensi menjadi duri dalam daging. Kita dapat menghela napas lega ketika Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi menekankan larangan cabotage berlaku bagi segala penerbangan domestik. Pemerintah sebaiknya tidak tergesa-gesa beralih ke skenario cabotage seandainya upaya menurunkan harga tiket domestik belum berhasil.