Kendati sudah berkali-kali Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap kepala daerah, ternyata mereka tidak kapok menggarong uang rakyat atau menerima suap. Kita perlu berupaya lebih serius dan sistematis guna memerangi kejahatan keji ini.
Skandal suap Gubernur Kepulauan Riau Nurdin Basirun merupakan contoh paling anyar. Politikus Partai Nasional Demokrat ini dicokok KPK lewat operasi tangkap tangan karena diduga menerima suap dalam kaitan dengan izin lokasi proyek reklamasi di provinsi tersebut. Dalam penangkapan itu KPK menyita uang uang Sin$ 6.000 yang diduga sebagai pelicin izin megaproyek reklamasi pantai yang menelan anggaran ratusan miliar rupiah.
Ironisnya, sekitar dua pekan sebelumnya, Ketua KPK Agus Rahardjo baru saja menandatangani nota kesepakatan dengan Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau untuk mencegah korupsi. Beberapa poin pencegahan yang hendak dilakukan antara lain soal pengadaan barang dan jasa serta perizinan.
Kasus Nurdin menambah panjang daftar gubernur, wali kota, dan bupati yang ditangkap KPK. Dari 2016 hingga medio 2019, KPK telah menangkap 45 kepala daerah yang melakukan korupsi. Nurdin Basirun menjadi Gubernur Kepulauan Riau kedua yang berurusan dengan KPK. Sebelumnya, Ismeth Abdullah terjerat perkara korupsi pengadaan mobil pemadam kebakaran pada 2004-2005.
Jual-beli perizinan seperti yang diduga dilakukan Nurdin hanyalah salah satu modus korupsi kepala daerah. Masih banyak modus lainnya, seperti membobol anggaran daerah, menerima suap dalam kaitan dengan pengadaan barang dan jasa, serta jual-beli jabatan.
Rendahnya hukuman bagi korupsi merupakan salah satu penyebab kejahatan ini tetap merajalela. Penangkapan berkali-kali pejabat daerah itu tak menimbulkan efek jera, lantaran mereka juga tidak dimiskinkan. Narapidana kasus korupsi umumnya tetap kaya raya karena tak semua hartanya disita. Tidak mengherankan jika muncul guyonan di kalangan politikus: "Mereka yang tertangkap itu hanyalah yang bernasib apes." Para koruptor juga tetap bisa tersenyum karena, setelah keluar dari penjara, sebagian dari mereka tetap bisa berkiprah dalam politik.
Tak cuma mengandalkan KPK, pemerintah perlu ikut memerangi korupsi secara lebih serius dan sistematis. Hal ini bisa dimulai dari aspek pencegahan. Lemahnya pengawasan internal di level provinsi, kabupaten, dan kota merupakan salah satu penyebab maraknya korupsi di daerah.
Kita juga perlu membenahi mekanisme demokrasi yang menimbulkan politik biaya tinggi. Bukan rahasia lagi, untuk berlaga dalam pemilihan kepala daerah diperlukan biaya yang amat besar. Maka, begitu terpilih, para elite politik lokal itu bersiasat untuk mengembalikan modal atau membalas jasa kepada pengusaha yang membiayai kampanyenya.
Demokrasi masih merupakan mekanisme ideal untuk menentukan pemimpin yang sesuai dengan aspirasi rakyat daerah. Hanya, demokrasi tetap memerlukan aspek lain, seperti pengawasan birokrasi, pengelolaan anggaran yang transparan, dan penegakan hukum, demi mencegah munculnya kepala daerah korup.