Destika Cahyana
Ketua Bidang Pengkajian dan Penelitian DPP GEMA Mathla’ul Anwar
Indonesia menghadapi dilema. Keluarga kombatan kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) asal Indonesia terlunta-lunta di kamp pengungsian Suriah. Sebagian besar dari mereka adalah perempuan dan anak-anak berusia di bawah 15 tahun. Haruskah pemerintah Indonesia memulangkan mereka? Siapa yang bertanggung jawab atas masa depan anak-anak yang tak berdosa itu? Dapatkah Indonesia memainkan peran strategis seiring dengan posisinya saat ini sebagai pemimpin Dewan Keamanan PBB?
Hukum internasional jelas mengatur bahwa negara asal yang harus mengurus serta tak boleh ada satu pun manusia di muka bumi yang tak berkewarganegaraan (stateless). Namun haruskah Indonesia meminta secara resmi kepada Otoritas Kurdi untuk memulangkan pengungsi ke Indonesia?
Di sisi lain, mereka, orang-orang dewasa, pergi secara sukarela meninggalkan Indonesia karena memimpikan kekhalifahan ISIS. Mereka juga telah terang-terangan menganggap pemerintah Indonesia sebagai tagut yang tak layak ditaati. Anak-anak hanya menjadi korban karena mengikuti pilihan orang tuanya.
Tentu kita semua harus bersepakat dulu bahwa orang dewasa yang betul-betul menjadi kombatandari mana pun negara asalnyadiproses pengadilan internasional. Mereka jelas melakukan kejahatan perang dan kemanusiaan di Suriah. Namun, untuk keluarga kombatan, terutama anak-anak, pemerintah Indonesia idealnya tetap bertanggung jawab terhadap masa depan mereka. Pemerintah idealnya mengambil anak-anak dari kamp pengungsian sekaligus membebaskan mereka dari belenggu pemikiran ekstremis dan radikal orang tuanya.
Tanpa peran pemerintah negara asalnya, anak-anak keturunan "para pengejar mimpi ISIS"seperti istilah yang ditulis Tempo (2019)dapat menjadi bom waktu. Mereka akan tumbuh tanpa pendidikan yang benar dan tepat sehingga berpeluang terpapar informasi keliru yang dapat menyuburkan dendam. Anak yang tumbuh dengan dendam akan menjadi bibit kekerasan pada masa depan. Siklus kekerasan karena dendam ini harus diputus. Sejarah membuktikan, siklus kekerasan dapat terjadi dari generasi ke generasi serta sulit diputus.
Pemerintah Indonesia, melalui Komite Kontra Terorisme (CTC) di Badan Keamanan PBB, dapat menginisiasi upaya mencegah bom waktu tersebut melalui sinergi dengan organisasi PBB lain. Sebut saja dengan UNICEF, UNESCO, ataupun UNWOMAN, yang telah memiliki instrumen dan pengalaman dalam memulihkan dan mengangkat kehidupan perempuan dan anak-anak yang kehidupannya kurang beruntung.
Pemerintah juga dapat mensinergikan organisasi-organisasi PBB tersebut dengan sejumlah organisasi massa Indonesia yang telah terbukti berhasil menyemai pemikiran inklusif pada anak-anak. Organisasi seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Mathla’ul Anwar, Pramuka, dan Lembaga Perlindungan Anak Indonesia dapat diajak untuk berpartisipasi menyemaikan pemikiran inklusif. Internalisasi pemikiran inklusif, yang merupakan antitesis pemikiran eksklusif, merupakan cara untuk membendung pemikiran eksklusif yang menjadi embrio tindakan radikal dan ekstrem, yang dapat berujung pada terorisme yang anti-kemanusiaan.
Nahdlatul Ulama, dengan ribuan pesantren di seluruh pelosok Indonesia, dapat dilibatkan untuk mendidik anak-anak keluarga kombatan ISIS. Pesantrennya telah terbukti mampu melahirkan santri-santri yang memegang teguh nilai-nilai tawassuth (moderat), tasamuh (toleran), tawazun (seimbang), sekaligus tetap i’tidal (tegak lurus) dalam memegang prinsip-prinsip yang diyakini.
Model pendidikan pesantren juga memungkinkan proses pendidikan anak terpisah dari orang tuanya karena mereka memang harus bermukim di pesantren setempat. Dengan demikian, anak-anak kombatan ISIS dapat dipisahkan dari ibunya, yang mungkin masih memiliki pemikiran radikal. Pemisahan tersebut dapat memungkinkan pemulihan anak dan pemulihan orang tua berlangsung secara terpisah.
Demikian pula dengan Muhammadiyah dan Mathla’ul Anwar dengan lembaga pendidikan modern di berbagai belahan Nusantara yang telah terbukti melahirkan siswa-siswa muslim yang berpikiran maju. Sementara Pramuka dapat memfasilitasi anak-anak belajar nilai-nilai kebangsaan dengan keterampilan-keterampilan yang khas. Terakhir, Lembaga Perlindungan Anak Indonesia dapat mendampingi proses pendidikan itu.
Sinergi PBB dan organisasi nasional di Indonesia dapat menjadi model untuk menumbuhkan anak-anak generasi Islam yang meyakini bahwa pada era modern perlu dikembangkan tiga pilar persaudaraan yang setara: ukhuwah islamiyah (persaudaraan sesama umat Islam), ukhuwah wathaniyah (persaudaraan sesama anak bangsa), dan ukhuwah insaniyah (persaudaraan sesama umat manusia). Bila mampu memainkan peran strategis di atas, Indonesia telah berhasil keluar dari dilema ini.