Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat harus merevisi secara menyeluruh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Sekalipun memakan waktu lama dan memerlukan proses yang berliku, langkah itu mesti ditempuh demi tegaknya hukum dan keadilan. Sudah lebih dari 400 orang menjadi korban undang-undang yang mengandung jebakan bagi kebebasan berekspresi itu.
Jebakan tersebut bersumber dari pasal karet yang multitafsir dan bisa sangat represif. Pasal 27, Pasal 28 ayat 1 dan 2, serta Pasal 29 undang-undang ini, misalnya, bisa disalahgunakan. Korbannya, 90 persen dijerat dengan tuduhan pencemaran nama dan sisanya dengan tuduhan ujaran kebencian. Dari Prita Mulyasari yang mengeluhkan pelayanan rumah sakit pada 2008 sampai yang terbaru kasus guru Baiq Nuril Maknun di Mataram.
Pasal 27 ayat 1 telah menjerat Baiq. Mahkamah Agung menolak peninjauan kembali Baiq dan menguatkan putusan kasasi pada 26 September lalu, yang memberi hukuman 6 bulan kurungan buat Baiq serta denda Rp 500 juta. Baiq dianggap mendistribusikan, mentransmisikan, atau membuat informasi elektronik yang memiliki muatan melanggar kesusilaan dapat diakses publik.
Informasi elektronik pada kasus Baiq berasal dari rekaman percakapan telepon antara Baiq dan M, kepala sekolah tempat dia mengajar. Baiq sengaja merekam karena M kerap melecehkannya secara verbal. Rekaman itu kemudian menjadi salah satu barang bukti laporan M kepada polisi.
Frasa "dapat diakses" di pasal ini, juga "mendistribusikan", menimbulkan beragam penafsiran. Baiq memang merekam percakapan pelecehan tersebut, tapi rekaman itu dicuri. Ia tak mengedarkannya. Pertanyaannya, mengapa faktor dicuri dianggap sebagai membuat "dapat diakses"? Bagaimana majelis menguji autentisitas alat bukti elektronik yang diajukan di persidangan yang sebenarnya merupakan hasil penggandaan berulang kali.
Pasal 28 ayat 2 juga bermasalah. Bunyi pasal ini: "Setiap orang menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan." Definisi "rasa kebencian" dan "permusuhan individu" sama sekali tak spesifik.
Ketentuan pidana dan atau pencemaran nama dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) justru mengatur lebih rinci. Ujaran kebencian dalam KUHP, misalnya, lebih jelas dalam rangka menghasut. KUHP juga mengatur unsur seperti "di muka umum". Undang-Undang ITE malah memberikan penafsiran lebih longgar. Hal tersebut membuat undang-undang ini bisa dimanfaatkan siapa saja yang dirugikan. Pengadilan pun menjadi kian eksesif.
DPR memang pernah merevisi Undang-Undang ITE ini tiga tahun lalu. Tapi penjelasan ayat 3 dan 4 dari Pasal 27 yang direvisi hanya menegaskan bahwa pidana pencemaran nama serta pemerasan dan pengancaman merupakan delik aduan yang mengacu pada KUHP. Sama sekali tak substansial. Sudah seharusnya beleid ini, juga rancangan KUHP yang baru, yang masih memasang "pasal karet" untuk kasus pencemaran nama, dihapus atau minimal diperbaiki. Itu jika pemerintah dan Dewan tak ingin dibilang telah melucuti kebebasan berekspresi yang penting dalam berdemokrasi.