Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Antara Oposisi dan Koalisi

image-profil

image-gnews
Ilustrasi pemilu. REUTERS
Ilustrasi pemilu. REUTERS
Iklan

Sulardi
Dosen Hukum Tata Negara Universitas Muhammadiyah Malang

Kata "oposisi" mulai marak diperbincangkan oleh masyarakat kita setelah penetapan presiden dan wakil presiden terpilih oleh Komisi Pemilihan Umum pada 29 Juni lalu. Dalam konteks ini, oposisi diartikan sebagai pihak yang tidak berada di lingkaran kekuasaan. Sesungguhnya, oposisi lazim ada di negara yang menjalankan pemerintahan parlementer. Terlebih yang kepartaiannya menggunakan sistem dwipartai.

Demikian halnya dengan istilah "koalisi". Koalisi pun lazim berada di negara dengan sistem pemerintahan parlementer. Koalisi terjadi ketika dalam pemilihan umum legislatif, tidak ada satu pun partai yang menguasai kursi parlemen secara mayoritas, sehingga tidak ada partai politik peserta pemilu yang dapat membentuk pemerintahan sendirian. Karena itu, beberapa partai bergabung untuk membentuk pemerintahan. Pemerintahan inilah yang disebut pemerintahan koalisi, sedangkan partai politik yang tidak ikut dalam pemerintah dinamai oposisi.

Kelemahan sistem parlementer yang pemerintahannya dibangun atas dasar koalisi adalah mudah retaknya gabungan partai politik dalam koalisi. Begitu partai anggota koalisi partai pemerintahan melepaskan diri, pemerintahan dinyatakan bubar dan harus dibentuk pemerintahan baru atas dasar koalisi baru di antara partai politik di parlemen.

Negara Indonesia pernah berada dalam situasi seperti itu saat tidak ada partai politik yang memperoleh kursi mayoritas di parlemen melalui Pemilihan Umum 1955. Pemerintahan kemudian dibentuk oleh koalisi empat partai yang memperoleh suara empat besar, yakni Partai Nasional Indonesia dengan 22,3 persen suara (57 kursi), Masyumi dengan 20,9 persen (57 kursi), Nahdlatul Ulama dengan 18,4 persen (45 kursi), dan Partai Komunis Indonesia dengan 16,4 persen (39 kursi). Dengan demikian, partai politik sisanya menempatkan diri sebagai oposisi. Seperti halnya kelemahan pada sistem parlementer dengan pemerintahan koalisi, pemerintahan koalisi di Indonesia pada waktu itu pun sangat lemah. Pemerintah kerap kali jatuh-bangun dan terjadi perubahan kabinet.

Kerugian dari seringnya pergantian pemerintahan melalui mosi tidak percaya itu mengakibatkan program pembangunan tidak bisa segera direalisasi. Bahkan yang terjadi adalah partai politik mengalami disorientasi, yakni bagaimana pemerintah dapat jatuh. Inilah yang menjadi salah satu alasan lahirnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan penyelenggaraan negara kembali yang berdasar pada UUD 1945 dengan sistem pemerintahan presidensial.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pada saat pemilihan presiden dan wakil presiden pada April 2019, terdapat dua pasangan calon presiden dan wakil presiden. Dua pasang kandidat itu tidak diajukan oleh partai politik, melainkan oleh gabungan partai politik, seperti yang diatur dalam Pasal 6 ayat 2 UUD 1945. Hanya, dalam keseharian, gabungan partai politik itu menyebut dan disebut sebagai koalisi partai politik.

Setelah Joko Widodo-Ma’ruf Amin ditetapkan sebagai presiden dan wakil presiden terpilih, ada yang berharap Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno tetap berdiri sebagai oposisi meskipun ada partai politik yang semula bergabung mendukung mereka telah bergeser ke pemerintahan. Di sini, oposisi dimaknai sebatas tidak terlibat dalam pemerintahan. Bila demikian, siapa pun bisa mengklaim sebagai pihak yang berada di barisan oposisi saat tidak berada di lingkaran pemerintahan.

Perlu dicermati bahwa negara kita adalah negara dengan sistem pemerintahan presidensial. Maka, pembentukan pemerintahan pun tidak berada di koalisi partai politik, melainkan sepenuhnya berada di tangan presiden sebagai hak prerogatif presiden. Hal ini tidak dapat diganggu gugat oleh siapa pun.

Boleh-boleh saja partai politik yang tergabung ke pemerintahan berharap mendapat bagian kursi kekuasaan dari presiden. Faktanya, presiden membagi-bagi kekuasaan itu kepada para pendukungnya. Hal ini menimbulkan kesan bahwa presiden bagi-bagi kekuasaan kepada partai politik yang telah mendukungnya dan siapa saja yang telah "berkeringat" untuk memenangkannya menjadi presiden.

Kekuasaan yang dibagi oleh presiden tidak hanya terbatas pada saat pengisian kabinet, tapi hingga di relung-relung yang paling dalam di pilar kekuasaan lain, seperti posisi direktur jenderal, lembaga-lembaga independen, dan komisaris badan usaha milik negara.

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

1 hari lalu

Sertijab Pj Bupati Musi Banyuasin
Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.


Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

22 hari lalu

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi secara resmi membuka Pos Koordinasi (Posko) Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024 di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta.


24 hari lalu


Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

30 hari lalu

Ilustrasi perang sosial media. / Arsip Tempo: 170917986196,9867262
Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.


AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

34 hari lalu

UKU dan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) menggelar konferensi pers di The Acre, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis, 21 Maret 2024. TEMPO/Savero Aristia Wienanto
AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.


DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

49 hari lalu

Badan Anggaran (Banggar) bersama Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) kembali membahas Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) 2024 di Ruang Rapat Paripurna, DPRD DKI Jakarta, Senin, 30 Oktober 2023. Tempo/Mutia Yuantisya
DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.


Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

50 hari lalu

Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh memberikan pidato politiknya secara virtual pada acara HUT ke-12 Partai Nasdem di NasDem Tower, Jakarta, Sabtu 11 November 2023. HUT tersebut mengambil tema
Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.


H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

15 Februari 2024

Pekerja mengangkut beras di Gudang Bulog Kelapa Gading, Jakarta, Senin, 5 Januari 2024. Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan memastikan persediaan bahan pokok, terutama beras, cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat menjelang Ramadan 1445 Hijriah. TEMPO/Tony Hartawan
H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.


Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.


Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Cuplikan film Dirty Vote. YouTube
Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.