Yonvitner
Kepala Pusat Studi Bencana IPB
Memasuki usia 20 tahun seharusnya perikanan kelautan semakin dewasa dalam menyiapkan diri sebagai sektor andalan ekonomi nasional dengan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Tata kelola yang dewasa adalah yang presisi dalam soal data, ruang, kebijakan, dan rencana aksi.
Kebijakan satu data patut diapresiasi tapi data presisi menjadi kunci utama kesuksesan pengelolaan perikanan. Implementasi satu data yang mendistorsi pengelolaan data sebelumnya seharusnya dilaksanakan secara adaptif karena beriringan dengan perubahan tata kelola kelembagaan perikanan tingkat daerah sebagai dampak implementasi Undang-Undang Otonomi Daerah dan Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Dampaknya, muncul era dengan kekosongan data yang seharusnya tidak boleh terjadi. Untuk itu, manajemen adaptif juga jadi kata kunci dalam untuk kesuksesan data presisi.
Kelembagaan teknis perikanan dan kelautan di kabupaten dan provinsi tidak an sich dalam koordinasi Kementerian Perikanan dan Kelautan karena secara administrasi juga menyertakan koordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri. Kerja sama dua lembaga ini akan mempermudah peran daerah dalam kecepatan penyediaan data yang akurat dan presisi. Di era Revolusi 4.0 seperti sekarang, seharusnya tata kelola data harus lebih baik, cepat, presisi, dan dapat diandalkan dalam setiap keputusan dan kebijakan. Sudah saatnya sektor perikanan dan kelautan punya sebuah sistem big data yang terintegrasi.
Presisi ruang menjadi krusial dalam pengelolaan perikanan yang baik. Wilayah pengelolaan perikanan (WPP) menjadi kunci harmonisasi ruang di era otonomi daerah. Untuk itu, penetapan WPP sebagai ruang ekonomi perikanan dan kelautan penting dan mendesak. Dalam ruang tersebut terdapat potensi yang menggambarkan daya dukung pembangunan perikanan. Dengan potensi stok 12,5 juta ton serta mariculture, aquaculture, dan konservasi, maka kebutuhan pelabuhan, armada, dan alat tangkap harus mengacu pada daya dukung tersebut. Presisi membaca ruang dengan daya dukungnya harus dimiliki Menteri Perikanan dan Kelautan yang akan datang. Saat ini, misalnya, sentra kelautan dan perikanan terpadu Sabang, Pelabuhan Ule-Lhe, dan Pelabuhan Pulo Aceh berada dalam satu ruang pengelolaan yang sama tapi belum tentu efektif karena dengan satu pelabuhan dan diperkuat dengan fasilitas saja mungkin sudah cukup untuk Aceh.
Begitu juga orientasi pembangunan mariculture dan aquaculture yang harus presisi pada ruang yang layak budi daya. Lahan budi daya payau, budi daya laut dangkal dan lepas pantai harus terukur sebagai patokan dasar investasi. Dengan memperhatikan daya dukung dan daya lentur (resilience) kawasan, akan sangat cantik skenario ekonomi yang dapat dimainkan. Begitu juga tingkat ketidakpastian dan risiko bencana pada ruang tersebut harus diperhitungkan. Butuh ketajaman sains dan kepemimpinan dalam membangun perikanan ke depan agar lebih maju lagi.
Presisi kebijakan juga tidak mudah karena sangat sulit membuat kebijakan yang koheren dengan tujuan pembangunan. Hampir semua kebijakan disebut untuk rakyat tapi kerap tidak sinkron dengan kebutuhan nelayan dan pelaku perikanan.
Pencapaian dari setiap program harus berimplikasi pada kesejahteraan rakyat (nelayan dan pembudi daya ikan). Selain itu, indikator pencapaian harus dapat dilacak pada tingkat mikro. Sebagai gambaran, peningkatan nilai tukar nelayan (NTN) seharusnya dapat dievaluasi dari jumlah nelayan yang kesejahteraannya meningkat. Jika belum bisa dievaluasi, bisa dipastikan bahwa ukuran NTN belum presisi.
Presisi program sebenarnya lebih mudah dilakukan karena sudah ada koridor operasional, dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional dan rencana strategis Kementerian hingga arahan khusus, seperti Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2017 tentang Rencana Aksi Percepatan Pembangunan Industri Perikanan Nasional.
Untuk menuju tata kelola presisi, setidaknya ada empat langkah yang diperlukan. Pertama, mengevaluasi satu data dengan penguatan big data perikanan. Pelibatan pemangku kepentingan, seperti teknologi informasi, perguruan tinggi, dan pelaku perikanan menjadi penting.
Kedua, memperkuat WPP sebagai ruang ekonomi pembangunan perikanan. WPP tidak hanya bermakna ruang daya dukung tapi juga ruang pengelolaan yang mengintegrasikan perencanaan, kebijakan, dan program.
Ketiga, mengevaluasi efektivitas kebijakan pembangunan perikanan. Tujuan pembangunan perikanan adalah membangun sistem usaha perikanan yang terintegrasi dari hulu sampai hilir. Untuk itu, kebijakan kita tidak untuk menumpuk ikan (baca: stok melimpah) tapi membangun sistem industri perikanan yang sehat dan berdaya saing.
Keempat, memantapkan program yang lebih fungsional dan tepat sasaran agar tercipta kejayaan perikanan yang didambakan. Tata kelola perikanan presisi menjadi kunci dalam keberhasilan dan keakuratan pembangunan perikanan. Semoga presiden mendatang menemukan sosok yang tepat dan presisi untuk mengelola perikanan yang lebih baik.