Reaksi atas penangkapan para tersangka suap penanganan perkara di Pengadilan Negeri Jakarta Barat oleh Komisi Pemberantasan Korupsi sungguh ajaib. Operasi terhadap, antara lain, dua jaksa itu direspons keras Kejaksaan Agung dan Partai NasDem-partai asal Jaksa Agung M. Prasetyo.
Operasi tangkap pada Jumat lalu itu menyasar lima orang, yakni pengacara Sukiman Sugita dan Alvin Suherman; pegawai swasta Ruskian Suherman; Kepala Subseksi Penuntutan Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, Yadi Herdianto; serta Kepala Seksi Tindak Pidana terhadap Keamanan Negara dan Ketertiban Umum Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, Yuniar Sinar Pamungkas.
Setelah pemeriksaan, KPK menetapkan dua orang sebagai tersangka pemberi suap, yaitu pengacara Alvin dan pengusaha yang juga menjadi pihak beperkara, Sendy Perico. Sedangkan yang dijadikan tersangka penerima suap adalah Asisten Pidana Umum Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, Agus Winoto. Adapun dua jaksa lainnya, yakni Yadi dan Yuniar, statusnya belum ditentukan dan diserahkan kepada Kejaksaan Agung untuk diproses secara paralel beserta semua barang bukti terkait.
Ini agak aneh, karena perkara yang saling berkaitan ditangani dua lembaga. Pengalihan itu seperti berkompromi dengan Kejaksaan plus NasDem yang sejak awal meminta kasus ini ditangani Korps Adhyaksa. Jaksa Agung Prasetyo semestinya membiarkan KPK menangani kasus korupsi aparat penegak hukum ini. Pasal 11 Huruf a Undang-Undang KPK menyebutkan kewenangan lembaga itu dalam penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang melibatkan penegak hukum, termasuk jaksa.
Daripada menyibukkan diri mengusut anak buahnya dalam perkara yang sudah ditangani KPK, lebih baik Prasetyo mencurahkan tenaganya untuk memperbaiki lingkup internal kejaksaan. Soalnya, penangkapan ini bukan yang pertama kali terjadi. Dalam kurun 2004–2018 setidaknya telah ada tujuh jaksa yang dibekuk KPK. Kondisi ini menandakan bahwa proses pengawasan di lingkup internal kejaksaan masih buruk.
KPK juga patut dipertanyakan, karena mereka menyerah terhadap intervensi Gedung Bundar. Alasan pelimpahan kedua jaksa sebagai bentuk kerja sama antar-lembaga tidak masuk akal karena kasus ini merupakan satu kesatuan. KPK pun semestinya sanggup menanganinya sendiri. Bukannya sinergi yang didapat, pelimpahan perkara ke Kejaksaan Agung justru melahirkan konflik kepentingan lantaran kedua jaksa ditangani oleh institusinya sendiri. Minimal, KPK akan kesulitan saat hendak memeriksa jaksa Yadi dan Yuniar.
Pemimpin KPK tidak boleh takut karena Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi melindungi lembaga itu dari semua pihak yang ingin campur tangan dalam proses penegakan hukum. Pihak yang mengintervensi bahkan diancam dengan pidana penjara hingga 12 tahun. Sebagai atasan Jaksa Agung, Presiden Joko Widodo tidak boleh pula membiarkan sistem penegakan hukum di negara ini semakin tidak keruan. Ia perlu menegur Prasetyo supaya kekacauan dalam penegakan hukum ini tidak berlanjut.