Oce Madril
Pengurus Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara
Mahkamah Konstitusi (MK) telah menjatuhkan putusan. Mahkamah menolak permohonan perselisihan hasil pemilihan presiden yang diajukan pasangan calon presiden-wakil presiden Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Dengan putusan tersebut, Mahkamah menguatkan keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang telah menetapkan pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin sebagai presiden dan wakil presiden terpilih periode 2019-2024. Putusan itu bersifat final dan mengikat.
MK tampak menolak menjadi lembaga pengadil tingkat banding atas berbagai permasalahan pelanggaran dan sengketa pemilihan umum. Hal ini terlihat dari pendekatan yang digunakan MK bahwa Undang-Undang Pemilu telah mengatur pola penyelesaian pelanggaran dan sengketa. Ada tiga polanya, yaitu penyelesaian pelanggaran administrasi, sengketa proses, dan sengketa hasil pemilu. Pelanggaran administrasi pemilu merupakan kewenangan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Sengketa proses pemilu diselesaikan di Bawaslu dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Perselisihan hasil pemilu (PHPU) diselesaikan oleh Mahkamah Konstitusi.
Menurut MK, undang-undang telah membatasi kewenangan masing-masing lembaga dalam menyelesaikan masalah hukum yang timbul dalam pemilu. Akibatnya, sepanjang menyangkut pelanggaran dan sengketa yang diproses oleh lembaga yang ada, MK tidak mau mencampuri kewenangan lembaga tersebut. Bahkan pelanggaran administratif yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) pun seharusnya diselesaikan lebih dulu oleh Bawaslu. Bila ternyata mekanisme itu tidak ditempuh oleh para pihak atau telah ditempuh dan hasilnya tidak memuaskan, itu bukanlah wilayah yang akan diadili oleh MK.
Logika ini jugalah yang digunakan oleh MK untuk menolak dalil pemohon lainnya. Misalnya soal penyalahgunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan program-program pemerintah untuk kampanye calon presiden Jokowi, yang oleh pemohon dinilai sebagai bentuk vote buying. Soal lain adalah aparat pemerintah yang tidak netral. Lagi-lagi, menurut Mahkamah, permasalahan-permasalahan tersebut seharusnya diproses ke Bawaslu dan, kalaupun persoalan itu terjadi, harus dibuktikan pengaruhnya terhadap pilihan pemilih sehingga berdampak pada perolehan suara.
Ini termasuk soal netralitas media. Dengan cara yang sama, Mahkamah berpendapat bahwa masalah ini seharusnya dilaporkan ke lembaga terkait, seperti Dewan Pers atau Komisi Penyiaran Indonesia, dan bukan wilayah kewenangan Mahkamah.
Hal ini bisa dimaknai bahwa Mahkamah ingin memperkuat posisi mekanisme penyelesaian pelanggaran dan sengketa proses pemilu, khususnya Bawaslu. Argumentasi inilah yang menjadi pembeda utama putusan MK saat ini dibanding putusan hasil pemilihan presiden sebelumnya.
Di satu sisi, MK terlihat ingin memperkuat eksistensi lembaga lain, seperti Bawaslu. Namun, di sisi lain, MK seolah-olah menutup mata terhadap persoalan efektivitas Bawaslu dalam menyelesaikan pelanggaran dan tindak pidana pemilu. Ada kesan bahwa MK menghindar untuk membahas hal itu sehingga enggan masuk lebih jauh menelisik persoalan ini.
Sebenarnya banyak kritik soal efektivitas Bawaslu. Contohnya soal masalah lemahnya kinerja Bawaslu diakibatkan oleh lemahnya lembaga sentra penegakan hukum terpadu (gakkumdu), seperti dalam menyelesaikan aduan tentang politik uang.
Kemudian soal pelanggaran netralitas aparat-aparat sipil negara, Tentara Nasional Indonesia, dan Kepolisian RI. Bawaslu hanya berwenang memberi rekomendasi kepada lembaga dan pejabat berwenang tanpa bisa memastikan bahwa rekomendasi itu dilaksanakan. Keputusan akhir tetap berada di tangan pejabat tersebut. Bisa dibayangkan, dengan konstruksi demikian, ketentuan netralitas aparat dalam pemilu dengan mudah dapat dilanggar.
Sikap MK yang demikian boleh jadi karena dua alasan. Pertama, isu itu berkaitan dengan regulasi yang berada pada wilayah politik hukum pembentuk undang-undang dan, jika ingin dipersoalkan, semestinya melalui upaya judicial review.
Kedua, boleh jadi semata-mata karena pemohon gagal mengungkapkan dan membuktikan fakta kecurangan tersebut. Sebab, berkali-kali dalam putusannya MK menilai bahwa pemohon tidak cermat dan tidak mampu menghadirkan alat bukti. Kalaupun ada, sebagian besar bukti itu dinilai tidak relevan dan tidak menunjukkan adanya kecurangan secara jelas serta tidak ada kaitannya dengan perolehan hasil suara.
Tampaknya alasan kedualah yang menjadi penyebab putusan MK. Harus diakui bahwa beban pembuktian dalam perkara PHPU memang berat ke pemohon, karena merekalah yang mendalilkan kecurangan, sehingga seharusnya mereka mempunyai bukti-bukti kuat perihal kecurangan itu. Tapi, sebagaimana terungkap di persidangan, banyak alat bukti yang ternyata tidak relevan dan tidak jelas menunjukkan adanya kecurangan itu. Pada akhirnya, MK pun tidak bisa menelisik lebih jauh soal dugaan kecurangan itu.