Rekonsiliasi antara kubu Joko Widodo dan Prabowo Subianto diperlukan untuk menurunkan tensi politik setelah pemilihan umum. Hanya, rekonsiliasi tersebut semestinya tidak diwarnai dengan transaksi jabatan. Memasukkan wakil partai penyokong Prabowo ke kabinet bakal melemahkan oposisi sekaligus merugikan demokrasi.
Rujuk politik itu harus dilandasi kepentingan masyarakat. Tujuan utamanya adalah merekatkan kembali rakyat yang terbelah oleh perbedaan pandangan dan pilihan dalam pemilihan umum lalu. Rekonsiliasi juga mesti didasarkan pada penghormatan terhadap aturan main demokrasi. Setelah pemilu berakhir dan sengketa hasil pemilu diputus oleh Mahkamah Konstitusi, kedua kubu perlu bersalaman untuk mengakhiri kompetisi.
Sangat disayangkan bila upaya perdamaian tersebut diwarnai politik transaksional berupa tawaran jatah kursi di kabinet atau kompensasi materi buat kubu yang kalah. Cara tak elok itu akan merusak demokrasi. Kubu yang kalah semestinya konsisten dengan ideologi dan gagasan mereka tanpa tergoda masuk dalam pemerintahan.
Idealnya, partai pendukung Prabowo--Partai Gerindra, Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera, dan Partai Amanat Nasional--tetap solid dan berperan sebagai kekuatan penyeimbang. Mereka juga bisa menyiapkan amunisi dan calon untuk menghadapi pemilu berikutnya. Sikap pragmatis yang sering diperlihatkan partai politik di negara kita perlu diakhiri.
Selama ini, partai politik terlihat hanya mengejar kekuasaan, bukan memperjuangkan ideologi atau gagasan. Mereka amat gampang berubah haluan. Pada pemilu sebelumnya, Partai Golkar dan Partai Amanat Nasional meninggalkan kubu Prabowo dan merapat ke Jokowi yang memenangi pemilihan presiden. Kali ini Partai Amanat Nasional pun mulai main mata dengan kubu pemenang. Begitu pula Demokrat.
Demokrasi akan rusak jika Presiden Jokowi membentuk kabinet dengan menggandeng sebagian besar partai pendukung Prabowo. Pemerintahan mungkin akan lebih stabil, tapi hanya untuk sementara. Menjelang pemilu, pemerintah yang disokong oleh terlalu banyak partai politik biasanya akan retak. Soalnya, masing-masing partai politik berkepentingan menyiapkan diri untuk bertarung lagi dalam pemilu.
Pragmatisme politik itu juga akan melemahkan kekuatan oposisi. Padahal, oposisi sangat diperlukan sebagai instrumen penyeimbang agar demokrasi tetap sehat. Dengan jumlah kursi yang lebih kecil dibanding koalisi partai pendukung pemerintah, Gerindra dan koalisinya memang akan selalu kalah dalam setiap pengambilan keputusan di parlemen. Tapi, paling tidak, mereka bisa menjadi pengontrol pemerintah. Keberadaan partai oposisi di Dewan Perwakilan Rakyat dapat menjamin transparansi dan akuntabilitas pemerintah.
Kita membutuhkan oposisi yang kuat untuk mengawasi kinerja pemerintah serta program-program pembangunan. Demokrasi akan mati jika semua partai politik, termasuk Gerindra, menjadi bagian dari penguasa. Demi menyelamatkan demokrasi, partai yang meraih suara terbanyak kedua di bawah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu sebaiknya tidak tergoda masuk dalam kabinet.