Aminuddin
Direktur Eksekutif Literasi Politik dan Edukasi untuk Demokrasi
Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan telah bertemu dengan Presiden Joko Widodo. Selang beberapa hari kemudian, Agus Harimurti Yudhoyono menerima undangan Jokowi ke Istana. Dua peristiwa itu mempertegas bahwa kapal di kubu oposisi mulai oleng. Tapi langkah banting setir dari oposisi menjadi barisan koalisi bukan hal langka di Indonesia.
Sejarah membuktikan bahwa partai-partai oposisi sewaktu-waktu bisa intim dengan koalisi partai pemerintah. PAN sendiri sudah menunjukkan bagaimana pada Pemilihan Umum 2014 mudah membelot. Ketika itu ia berada di barisan oposisi bersama Gerindra, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Golkar. Alih-alih menjaga oposisi solid, justru PAN bergabung dengan kubu pemerintah. Hal itu juga sama dengan Golkar, yang tanpa ragu bergabung dengan koalisi pemerintah pasca-pemilihan presiden 2014. Bedanya dengan PAN, Golkar tetap setia berada di koalisi Indonesia Kerja pada pemilihan presiden 2019.
Mengapa fenomena seperti ini acap kali terjadi dalam sejarah politik Indonesia? Setidaknya ada tiga hal yang bisa menjelaskan. Pertama, sejak tumbangnya rezim Orde Baru, belum ada partai politik yang benar-benar memiliki ideologi politik yang jelas. Yang paling mencolok dari diferensiasi partai hanya terletak pada sejauh mana partai tersebut bisa bertahan lama di tengah tumbuh suburnya partai baru.
Kedua, belum lahirnya tradisi pelembagaan oposisi di tubuh partai. Semua partai yang terbentuk, baik sebagai partai koalisi maupun oposisi, hanya bersifat pragmatis dan komitmen bersama untuk memenangi kontestasi politik. Selebihnya, mereka akan mencari jalan sendiri apabila kalah dalam proses pemilihan presiden. Inilah yang membuat koalisi partai sangat cair dan fleksibel.
Pengalaman Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) selama 10 tahun memimpin bisa menggambarkan bagaimana cairnya partai dalam berkoalisi. PKS dan PAN, yang menjadi partai koalisi pemerintah ketika itu, sangat leluasa mengkritik dan bahkan berseberangan dengan Demokrat. Padahal komitmen moral sebagai partai koalisi semestinya mengikuti kebijakan pemerintah. Bukan sebaliknya, kerap menjadi oposisi dari dalam.
Karena itu, jika nanti Demokrat dan PAN bergabung dengan koalisi pemerintah, hal itu bukanlah fenomena baru ataupun situasi genting dalam komitmen partai. Itu semua karena pertimbangan terciptanya peluang partai untuk mencicipi kue-kue kekuasaan. Ditambah lagi jika partai tersebut belum pernah merasakan bagaimana nelangsanya menjadi oposisi. Hal itu akan membuat posisi oposisi semakin tidak menarik.
Ketiga, konsekuensi dari Undang-Undang Pemilihan Umum yang mengharuskan partai berkoalisi jika tidak bisa mencalonkan presiden dan wakil secara mandiri. Jika tidak berkoalisi, mereka akan didiskualifikasi dalam percaturan politik pada pemilihan berikutnya. Dengan alasan inilah, partai dipaksa berkoalisi meski setengah hati. Mereka bahkan rela bergabung meski berbeda pandangan dan ideologi. Itu semata-mata hanya untuk menyelamatkan masa depan partainya pada pemilihan umum berikutnya.
Jika pada akhirnya pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin memenangi kontestasi pemilihan presiden, posisi PAN dan Demokrat masuk dalam koalisi Indonesia Kerja terbilang terjal. Sebab, mereka akan ditentang oleh partai anggota koalisi yang sejak sebelum pemilihan sudah berdarah-darah memenangkan Jokowi-Amin. Jika kedua partai itu diberi ruang, apalagi didapuk di posisi strategis, konsekuensinya adalah ketidakharmonisan dalam koalisi Indonesia Kerja. Inilah yang harus diperhatikan oleh Jokowi jika nanti berlanjut memimpin Indonesia pada periode kedua.
Komitmen partai politik oposisi sebetulnya sangat dinantikan dalam upaya menjadi barisan oposisi demokratis. Artinya, keputusan sebagai partai oposisi seharusnya tetap dijaga hingga lima tahun ke depan. Sebab, pemerintah memerlukan partai oposisi untuk mengkritik dan mengoreksi kebijakan pemerintah. Selain itu, rakyat memerlukan partai oposisi untuk melindungi dari pemerintahan yang otoriter. Jika oposisi lemah, bisa dipastikan kebijakan pemerintah sulit dikoreksi. Pada akhirnya, rakyatlah yang menanggung akibat dari kebijakan pemerintah yang tidak memihak rakyat.