Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Jurnalisme sebagai Barang Publik

image-profil

image-gnews
(ki-ka) Deputi II Kepala Staf Presiden Yanuar Nugroho, Founder Journocoders Indonesia Aghnia Adzikia, Sekretaris Jenderal Asosiasi Media Siber Indonesia Wahyu Dhyatmika, Sekretaris Jenderal Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Revolusi Riza, dan Moderator saat menjadi pembicara dalam Talkshow dan Launching Platform Jurnalismedata.id `Tantangan Jurnalisme Data di Era Disrupsi` di kawasan Sabang, Jakarta, 4 Februari 2019. TEMPO/M Taufan Rengganis
(ki-ka) Deputi II Kepala Staf Presiden Yanuar Nugroho, Founder Journocoders Indonesia Aghnia Adzikia, Sekretaris Jenderal Asosiasi Media Siber Indonesia Wahyu Dhyatmika, Sekretaris Jenderal Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Revolusi Riza, dan Moderator saat menjadi pembicara dalam Talkshow dan Launching Platform Jurnalismedata.id `Tantangan Jurnalisme Data di Era Disrupsi` di kawasan Sabang, Jakarta, 4 Februari 2019. TEMPO/M Taufan Rengganis
Iklan

Purwanto Setiadi
Wartawan lepas

Demokrasi membutuhkan pers yang bebas. Pers atau media pemberitaan, yang menghasilkan jurnalisme, memastikan adanya transparansi. Inilah yang memaksa pemerintah bekerja lebih baik, korporasi menjalankan bisnis yang akuntabel, menekan risiko korupsi, dan pada ujungnya menciptakan rasa aman dalam kehidupan bermasyarakat.

Baca Juga:

Namun perubahan teknologi yang sangat pesat, juga evolusi cara orang mengkonsumsi berita, kini menimbulkan beragam tantangan yang muskil. Revolusi digital ini, misalnya, melahirkan fabrikasi berita yang tersebar di media sosial. Karena itu, timbul kecenderungan orang hanya mempercayai informasi yang mendukung keyakinannya. Yang krusial adalah tergerusnya fondasi ekonomi organisasi pemberitaan yang lawas dan baru.

Selama ini, kelangsungan hidup organisasi-organisasi itu bertumpu pada "perkawinan"-nya dengan pengiklan-di samping sumber lain yang mungkin. Di masa lalu, pada media cetak, pendapatan iklan adalah "subsidi", yang menambal kekurangan pendapatan dari uang langganan atau penjualan eceran. Pada era digital, pendapatan ini beralih ke media online, tapi tetap tak cukup besar untuk bisa menjadi sumber penghidupan, apalagi untuk memproduksi karya jurnalistik berkualitas.

Akibat umum dari kecenderungan itu adalah tutupnya sejumlah media pemberitaan. Sebagian yang lain menekan biaya dengan mengurangi konten orisinal, memindahkan format cetak ke format online, dan memangkas jumlah tenaga kerja, termasuk wartawan. Ada tekanan yang semakin besar pada profesi wartawan, yang dari segi penghasilan umumnya tak memadai tapi beban pekerjaannya kian berat. Seorang koresponden beberapa media besar Prancis di Thailand, Arnaud Dubus, belum lama ini mengakhiri hidupnya karena kesulitan keuangan.

Kondisi mutakhir itu mengingatkan lagi pada masalah lama: ketidakpastian basis keuangan jurnalisme. Berita, pada kenyataannya, sebagaimana diingatkan oleh Robert G. Picard, seorang ahli bisnis media, "tak pernah menjadi produk yang fisibel dan selalu dibiayai dengan pendapatan berdasarkan nilainya untuk hal-hal lain". Salah satu alasannya adalah jurnalisme, seperti umumnya produk pengetahuan, mengandung atribut barang publik. Inilah yang belakangan mengemuka dan disarankan oleh sejumlah ahli agar diadopsi menjadi pola pikir baru di kalangan pengelola organisasi pemberitaan.

Dalam disiplin ekonomi, barang publik adalah barang yang jika digunakan atau dikonsumsi oleh seseorang tak menghalangi kesempatan bagi orang lain untuk juga menggunakan atau mengkonsumsinya. Dengan kata lain, perihal akses, barang publik bersifat tak meniadakan dan, dalam hal penggunaan, tak mengandung/menimbulkan kompetisi. Ini bertolak belakang dengan barang privat, yang hanya bisa diperoleh berdasarkan mekanisme pasar.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dalam literatur ekonomi, pertahanan nasional, pencegahan penyakit, pendidikan dasar, dan lampu jalan kerap disebut sebagai contoh barang publik. Biasanya barang-barang ini disediakan secara kolektif karena manfaatnya mustahil atau sulit dibiayai melalui transaksi di pasar privat. Sebagai barang publik, jurnalisme berada di satu ranah dengan universitas dan produsen pengetahuan lainnya dalam suatu perekonomian.

Dengan pola pikir baru tersebut, tugas pengelola organisasi pemberitaan tak bisa lain kecuali mengupayakan model sumber keuangan yang semestinya juga baru. Menurut Julia Cage, ekonom dari Prancis yang menulis buku Saving the Media: Capitalism, Crowdfunding, and Democracy, miliuner seperti Jeff Bezos atau Pierre Omidyar bukanlah pilihan-meski, tentu saja, mereka sanggup menggelontorkan dana besar. Sedikit berbeda dengan kolega-koleganya, dia menyarankan pembiayaan oleh masyarakat (crowdfunding) dan pembagian kekuasaan (power-sharing).

Model yang dia harapkan bisa menjadi pola bagi media pada abad ke-21 itu-dia menyebutnya sebagai organisasi media nirlaba (nonprofit media organization)-memadukan aspek-aspek perusahaan saham gabungan dan yayasan. Penyatuan ini dia anggap penting. Sebab, jika hanya salah satu, yang sangat boleh jadi terwujud adalah "skala" operasi yang kecil dan cenderung berada di ceruk khusus (untuk yayasan) atau tetap jalan di tempat (untuk perusahaan saham gabungan) dan bertabrakan lagi dengan masalah yang sama. Dia mencontohkan media-media yang sukses dijalankan yayasan: The Guardian, Ouest-France, ProPublica, Tampa Bay Times, dan The Christian Science Monitor. Semuanya, kecuali The Guardian, tergolong kecil atau hanya "tayang" di Internet.

Kelemahan utama yayasan, menurut Cage, adalah ketergantungan pada penyumbang dana, yang biasanya hanya beberapa individu, perusahaan, atau yayasan lain yang lebih kaya. Itu sebabnya dia mengusulkan dibuat ketentuan yang memudahkan yayasan menjadi pengelola dana abadi dengan menghimpun donatur dari lebih banyak kalangan dan, kalaupun ada penyumbang besar, hak suaranya dibatasi sehingga setara dengan penyumbang kecil. Supaya hal ini berjalan, mesti disediakan insentif, yakni keringanan pajak.

Memang, beda negara bisa beda peraturan. Rintangan proses legislasinya pun pasti tak sama. Bisa jadi ada pilihan lain, misalnya koperasi, seperti induk usaha Associated Press. Tapi bisa dimaklumi kalau model crowdsourcing mengesankan adanya perlakuan khusus. Kesan ini sebaiknya tak menghalangi tindakan yang diperlukan untuk tetap menghidupi jurnalisme.

Yang mendesak saat ini, sesuatu yang juga diakui Cage, hanya satu hal: organisasi pemberitaan harus menetapkan pilihan. Penundaan bisa membawa akibat buruk, sama buruknya dengan pers yang dikerangkeng.

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


18 hari lalu


Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

24 hari lalu

Ilustrasi perang sosial media. / Arsip Tempo: 170917986196,9867262
Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.


Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.


Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Cuplikan film Dirty Vote. YouTube
Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.


PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

6 Februari 2024

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.


Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

5 Februari 2024

Ferdinand
Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.


Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

22 Januari 2024

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.


Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

15 Januari 2024

Tangkapan layar tayangan video Tempo.co berisi kampanye Prabowo Subianto di Riau, Pekanbaru, Selasa, 9 Januari 2024.
Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.


Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

15 Januari 2024

Presiden Joko Widodo (kiri) bersama Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (kanan) dan Wakil Ketua MK Aswanto (tengah) meninggalkan ruang sidang seusai mengikuti sidang pleno penyampaian laporan tahun 2019 di Gedung MK, Jakarta, Selasa 28 Januari 2020. Sejak berdiri pada tahun 2003 hingga Desember 2019 MK telah menerima sebanyak 3.005 perkara. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

Kita menunggu Mahkamah Konstitusi mewariskan putusan yang berpihak kepada hukum dan kebenaran, karena kalau hukum tidak ditegakkan, maka tirani yang akan leluasa merusak harkat dan mertabat bangsa Indonesia.


Bancakan Proyek Sengkarut Nasional

15 Januari 2024

Mantan Menkominfo Johnny G. Plate divonis 15 tahun penjara setelah ditetapkan sebagai tersangka pada 17 Mei 2023 dalam kasus korupsi proyek pembangunan Base Transceiver Station (BTS) 4G yang dikerjakan Kemenkominfo. Johnny bersama sejumlah tersangka lainnya diduga melakukan pemufakatan jahat dengan cara menggelembungkan harga dalam proyek BTS dan mengatur pemenang proyek hingga merugikan negara mencapai Rp 8 triliun. TEMPO/M Taufan Rengganis
Bancakan Proyek Sengkarut Nasional

PPATK menemukan 36,67 persen aliran duit dari proyek strategis nasional mengalir ke politikus dan aparatur sipil negara. Perlu evaluasi total.