Rizky Karo Karo
Dosen Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan
Saya hendak menanggapi tulisan Miko Ginting pada Koran Tempo edisi 12 Juni 2019 ihwal diperlukannya regulasi atau pedoman di tiap institusi penegak hukum dan pengadilan mengenai bukti elektronik guna memberikan penguatan pada penegakan hukum dan menyediakan jaminan perlindungan hak asasi manusia (HAM). Menurut hemat saya, aturan mengenai bukti elektronik, baik sebagai barang maupun alat bukti, sudah final dan tidak perlu dibuat peraturan lebih khusus (lex specialis) atau peraturan sektoral (lex sectorale). Ada dua alasan untuk itu.
Pertama, peraturan khusus tersebut pasti berpedoman pada Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), sehingga hanya akan menghasilkan peraturan yang salin-tempel dan isinya sama. Jika tidak mengikuti peraturan yang lebih tinggi, peraturan khusus itu tidak harmonis dan tidak berguna, serta hanya membuang anggaran untuk menyusun peraturan tersebut.
Kedua, UU ITE dengan jelas dan tegas menyatakan informasi atau dokumen elektronik merupakan alat bukti hukum yang sah dan merupakan perluasan dari alat bukti yang sah. Prinsip bahwa satu bukti bukanlah bukti adalah prinsip yang digunakan jika hakim tidak yakin terhadap alat bukti elektronik tersebut. Indonesia menganut sistem negatief wettelijk, yakni hakim harus "yakin" serta menggunakan alat bukti yang sah. Jika hakim ragu-ragu, ia dapat mengacu pada alat bukti lain.
Hakim diberi kewenangan untuk menilai apakah alat bukti itu, baik elektronik maupun non-elektronik, sah atau memiliki korelasi dengan suatu perbuatan hukum. Hakim diberi kebebasan untuk mengkategorikan bukti elektronik itu sebagai bukti surat/tulisan atau bukti petunjuk atau persangkaan.
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tahun 1981 memang sudah perlu diubah karena tidak mengikuti perkembangan zaman jika ingin mendasarkan pemeriksaan terhadap bukti elektronik. Jika memang ingin menata regulasi bukti elektronik, saat yang tepat adalah pada masa penyusunan rancangan KUHAP baru. Pembuktian elektronik, baik tata cara perolehan, penyitaan, penggeledahan, maupun pemusnahan, harus diatur secara spesifik, saksama, serta tidak melanggar hak privasi dan hak asasi manusia. Rancangan itu harus mampu menjawab kekosongan hukum terhadap pembuktian elektronik. Salah satunya jika dalam keadaan darurat dan waktu yang sempit, izin ketua pengadilan negeri setempat terhadap penggeledahan atau penyitaan terhadap sistem elektronik dapat dilakukan. Kemudian penyidik membuat berita acara terhadap penggeledahan atau penyitaan itu dengan alasan kuat bahwa jika tidak segera digeledah/disita, terduga akan merusak atau menghilangkan sistem elektronik tersebut.
Jika hakim ragu terhadap suatu bukti elektronik, misalnya rekaman kamera keamanan (CCTV) atau rekaman suara, hakim dapat meminta keterangan ahli forensik. Jika masih ragu, hakim wajib menjatuhkan putusan yang menguntungkan terdakwa.
Jika ada hakim yang berbeda pendapat dengan hakim lain soal sah atau tidaknya bukti elektronik, hal tersebut wajar, karena di pengadilan Indonesia hakim tidak memiliki kewajiban untuk mengikuti putusan hakim terdahulu (civil law system). Jika dianggap terdapat ketaksaan makna dalam UU ITE, hakim dapat melakukan penemuan hukum untuk mewujudkan keadilan yang bermartabat. Menurut Sudikno Mertokusumo (1993), penemuan hukum itu dilakukan dengan metode interpretasi hukum, seperti interpretasi gramatikal (sesuai dengan kaidah bahasa), sistematis, historis, dan teleologis (sesuai dengan tujuan pembentukannya).
Sejauh ini, UU ITE telah memberikan kepastian hukum terhadap bukti elektronik dan penyidikan bukti elektronik. Hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal 6 UU ITE, yang menyatakan "informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan". Hal tersebut berarti bukti elektronik tidak wajib dalam bentuk cetak selama informasi elektronik tersebut masih dapat diakses. Namun, saya menyarankan, jika ingin menjadikan screenshot (hasil cetak layar) sebagai barang bukti elektronik, wajib dicetak dan diuji kebenarannya melalui uji forensik digital dan diperkuat dengan keterangan ahli forensik digital di persidangan.
Proses penyidikan, penyadapan, penggeledahan, atau penyitaan terhadap sistem elektronik telah sejalan dengan hak asasi manusia sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999. Salah satunya Pasal 43 ayat 4 UU ITE, yang menyatakan dalam penggeledahan atau penyitaan, penyidik wajib menjaga terpeliharanya kepentingan pelayanan umum. Bukti penyadapan juga dapat dipakai sebagai bukti elektronik yang sah jika dilakukan oleh penyidik yang diberi kewenangan khusus, seperti KPK. Dengan demikian, bukti elektronik dalam UU ITE sudah final dan telah sesuai dengan nilai-nilai HAM.