Centang-perenangnya pengawasan narapidana korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin kembali terkuak setelah Setya Novanto dipergoki sedang jalan-jalan di luar penjara pada Jumat lalu. Bekas Ketua Dewan Perwakilan Rakyat ini didapati sedang pelesir di toko bangunan mewah di Padalarang, Kabupaten Bandung Barat, yang berjarak sekitar 28 kilometer dari Sukamiskin.
Mantan Ketua Umum Partai Golkar ini "kabur" dari penjara khusus narapidana korupsi setelah mengakali izin berobat ke Rumah Sakit Santosa Bandung yang diberikan petugas lembaga pemasyarakatan. Alih-alih pergi ke rumah sakit, Setya justru bebas berkeliaran. Permohonan izin berobat itu ternyata hanya tipu daya Setya agar bisa menemani istrinya belanja.
Pemberian izin kepada Setya untuk memilih sendiri rumah sakit untuk perawatan kesehatannya jelas sebuah kekeliruan. Seharusnya, seperti narapidana lainnya, Setya dirawat di rumah sakit yang memang ditunjuk oleh lembaga pemasyarakatan.
Laku lancung Setya bebas sesuka hati keluar penjara bukanlah yang pertama kali. Sebelumnya, Ombudsman Republik Indonesia menemukan fasilitas mewah di dalam sel yang dihuni Setya. Namun temuan Ombudsman ini tak ditindaklanjuti dengan memberikan sanksi. Sebelum itu, Setya juga pernah didapati sedang bersantap di warung makan Padang di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto di Jakarta dengan alasan berobat.
Investigasi majalah Tempo pada 2017 mengungkap bahwa banyak narapidana korupsi yang menyogok pejabat Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin untuk mendapatkan kenikmatan di luar penjara. Salah satunya Anggoro Widjojo, narapidana korupsi pengadaan sistem komunikasi radio terpadu di Kementerian Kehutanan.
Tempo juga menemukan sejumlah fasilitas mewah bagi narapidana korupsi di dalam kawasan penjara. Keganjilan ini diperkuat dengan ditangkapnya Kepala Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Abdul Wahid, oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Pengadilan kemudian menghukum Wahid karena bersalah menerima suap dalam jual-beli fasilitas di Sukamiskin.
Pangkal dari ruwetnya penanganan narapidana korupsi ini adalah adanya penjara khusus untuk koruptor. Seharusnya Setya dan koruptor lain diperlakukan seperti penjahat lain, termasuk di antaranya berdesakan di sel sempit. Sistem penjara khusus koruptor harus segera dirombak. Mengumpulkan pencoleng kelas kakap di satu penjara terbukti bukanlah gagasan cemerlang.
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia harus menghentikan sistem penjara khusus koruptor yang diberlakukan sejak 2012 ini. Para narapidana korupsi justru harus dibui di berbagai penjara dengan pengawasan maksimum, termasuk di sejumlah lembaga pemasyarakatan yang ada di Pulau Nusakambangan.
Kacaunya penanganan narapidana korupsi juga akan berdampak pada pemberantasan korupsi di Indonesia. Skandal Setya dan koruptor lain di Sukamiskin membawa efek berantai yang amat panjang dan berpotensi merusak seluruh sistem pemberantasan korupsi di negeri ini. Jika hal itu tak segera dibenahi, upaya KPK, polisi, dan kejaksaan menangkapi koruptor jelas bakal sia-sia.