KOMISI Pemberantasan Korupsi harus bergerak lebih cepat untuk menuntaskan skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia. Meski penetapan Sjamsul Nursalim sebagai tersangka merupakan angin segar pengungkapan kasus BLBI, penelusuran KPK tak boleh berhenti pada pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) itu.
KPK hanya memiliki waktu hingga 2022 karena adanya aturan kedaluwarsa dalam penuntutan pidana. Kasus pidana dengan ancaman hukuman penjara seumur hidup atau pidana mati tidak bisa diusut lagi setelah 18 tahun. Jika KPK gagal memenuhi tenggat itu, para pengemplang dana BLBI bakal melenggang bebas tanpa bisa diseret ke pengadilan.
Pimpinan komisi antikorupsi perlu memprioritaskan penanganan skandal BLBI-kasus lawas yang para pelakunya terkoneksi dengan hampir semua rezim pemerintahan masa lalu. Pengusutan kasus BLBI selama ini amat lamban. Dibutuhkan tiga periode kepemimpinan hingga kasus ini naik ke tahap penyidikan. Baru dua tahun lalu, KPK menetapkan bekas Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Arsyad Temenggung, sebagai tersangka.
Syafruddin menjadi satu-satunya pelaku yang diseret ke pengadilan. Dia divonis 13 tahun penjara dan didenda Rp 700 juta pada September tahun lalu. Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memperberat hukuman menjadi 15 tahun bui dan denda Rp 1 miliar pada Januari lalu. Hakim menyatakan Syafruddin-bersama Sjamsul dan istrinya, Itjih, serta bekas Kepala Komite Kebijakan Sektor Keuangan, Dorodjatun Kuntjoro-Jakti-merugikan negara karena mengeluarkan surat keterangan lunas BLBI untuk BDNI senilai Rp 4,8 triliun pada April 2004.
Jumlah itu merupakan sisa tunggakan BDNI yang mendapat suntikan dana BLBI senilai Rp 30,9 triliun saat krisis moneter melanda negeri ini pada 1997-1998. Surat keterangan lunas seharusnya tak terbit karena Sjamsul belum menyetor kewajibannya sekitar Rp 3,7 triliun. Setelah surat lunas itu keluar, BPPN hanya bisa menarik Rp 1,1 triliun dari hak tagih atas petani tambak udang di Bumi Dipasena Utama, Tulangbawang, Lampung, yang diserahkan Sjamsul.
Rencana KPK melanjutkan kasus itu ke pengadilan tanpa kehadiran Sjamsul atau secara in absentia sudah tepat. Komisi tak perlu membuang waktu dengan mencoba menghadirkan Sjamsul, yang bersama istrinya sudah menjadi warga negara Singapura dan tak pernah meladeni panggilan pemeriksaan. Target realistis KPK adalah menyita segala harta Sjamsul sebagai silih atas kejahatan mengemplang duit negara.
Sjamsul bukan satu-satunya pengemplang BLBI. Saat krisis moneter melanda, ada 48 bank sekarat yang mendapat guyuran dana senilai total Rp 144,5 triliun. Belakangan, terungkap banyak bank melakukan praktik lancung pemberian kredit yang ikut menimbulkan krisis moneter. Alih-alih mendapat sanksi karena melanggar batas maksimum pemberian kredit, para debitor malah menikmati kucuran duit negara-dan mayoritas gagal bayar.
Masalah baru pun muncul setelah Megawati Soekarnoputri mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002, yang memberikan fasilitas release and discharge bagi penunggak Bantuan Likuiditas Bank Indonesia. BPPN menerbitkan surat keterangan lunas untuk 22 debitor yang kooperatif, yang kemudian terungkap mengandung banyak persoalan, bahkan korupsi.
Ketua KPK Agus Rahardjo dan kawan-kawan harus bekerja maksimal membongkar kasus BLBI hingga masa jabatan mereka berakhir Desember tahun ini. Jangan sampai pengganti mereka menanggung beban berat menyelesaikan tunggakan kasus tersebut.