Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Simpang-siur Kematian Petugas KPPS

Oleh

image-gnews
Dua wanita meletakkan sejumlah bunga dalam aksi tabur bunga untuk pejuang demokrasi saat car free day di Bundaran HI, Jakarta, Ahad, 28 April 2019. Acara yang digelar untuk ratusan petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara atau KPPS serta anggota polisi yang meninggal saat bertugas dalam pemungutan suara. TEMPO/Muhammad Hidayat
Dua wanita meletakkan sejumlah bunga dalam aksi tabur bunga untuk pejuang demokrasi saat car free day di Bundaran HI, Jakarta, Ahad, 28 April 2019. Acara yang digelar untuk ratusan petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara atau KPPS serta anggota polisi yang meninggal saat bertugas dalam pemungutan suara. TEMPO/Muhammad Hidayat
Iklan

FITNAH dan manipulasi informasi perihal penyebab kematian lebih dari lima ratus petugas penyelenggara pemilihan umum seharusnya tak terjadi jika Komisi Pemilihan Umum sedari awal sigap menjelaskan kondisi riil di lapangan. Alih-alih transparan, tindakan KPU merilis jumlah kematian tanpa penjelasan memadai justru makin memicu kesimpangsiuran.

Sampai pekan lalu, KPU menyatakan 486 anggota kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) dan petugas pendukung meninggal setelah mengawal pemilu serentak 17 April lalu. Selain yang meninggal, ada 4.849 petugas yang dilaporkan sakit. Data ini saja sudah menimbulkan tanda tanya. Pasalnya, pada saat yang sama, Kementerian Kesehatan merilis angka berbeda. Menurut Kementerian, petugas KPPS yang meninggal adalah 527 jiwa dan yang sakit mencapai 11.239 orang. Hingga kini tak ada koreksi dari kedua lembaga itu.

Baca Juga:

Sejak pertama kali dirilis, informasi dari KPU langsung menjadi sasaran empuk rumor di media sosial. Ada yang menuduh ratusan petugas itu dibunuh untuk menutupi kecurangan kubu petahana. Bahkan ada pendukung kubu calon presiden Prabowo Subianto yang menuding para petugas itu meninggal akibat diracun. Tudingan-tudingan tak berdasar itu jelas memperkeruh suasana penghitungan suara yang sedang panas. Ujung-ujungnya, informasi soal kematian petugas KPPS ini menjadi bola liar yang mengarah pada upaya delegitimasi pemilu.

Meski sedikit terlambat, upaya Kementerian Kesehatan dan Ikatan Dokter Indonesia untuk mengidentifikasi penyebab kematian petugas KPPS harus diapresiasi. Direktorat Bina Upaya Kesehatan Kementerian Kesehatan menemukan bahwa anggota KPPS yang meninggal paling banyak berusia 50-59 tahun. Disusul berikutnya mereka yang berusia di atas 40 tahun.

Tak hanya itu, Kementerian Kesehatan juga merilis hasil audit medis yang menunjukkan bahwa penyebab terbanyak kematian para petugas KPPS adalah penyakit kardiovaskular. Ada yang meninggal akibat serangan jantung, stroke, dan hipertensi. Asma dan gagal pernapasan adalah penyebab terbanyak kedua. Dengan kata lain, semua kematian itu terjadi akibat kombinasi faktor usia, kondisi tubuh, dan beban kerja yang cukup melelahkan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kita semua tentu menyesalkan kematian para petugas KPPS yang sudah bekerja keras mengabdi kepada negara ini. Banyak dari mereka rela tak tidur dua hari untuk memastikan proses pemungutan dan penghitungan suara berjalan lancar. Namun kasus kematian ini perlu diletakkan dalam konteks yang proporsional. Jumlah 527 korban meninggal itu kurang dari 1 persen total jumlah petugas penyelenggara pemilu kita yang mencapai 6 juta orang.

Banyak orang seakan-akan lupa bahwa kasus kematian petugas KPPS juga terjadi pada pemilu lima tahun lalu. Pada 2014, tercatat 144 petugas penyelenggara pemilu meninggal setelah bertugas. Ketika itu, tak ada kehebohan seperti sekarang.

Meski demikian, bukan berarti sistem penyelenggaraan pemilu kali ini tanpa kesalahan. Masukan dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Ombudsman perlu ditindaklanjuti. Kedua lembaga ini menyoroti sistem rekrutmen dan remunerasi petugas KPPS yang membuat posisi dan keselamatan mereka riskan. Tak adanya batas usia maksimal dan mekanisme cek kesehatan untuk petugas KPPS, misalnya, meningkatkan potensi kerawanan dalam tugas mereka. KPU dan Dewan Perwakilan Rakyat sebagai pembuat undang-undang wajib meninjau ulang sistem pemilu kita berikutnya.

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


18 hari lalu


Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

24 hari lalu

Ilustrasi perang sosial media. / Arsip Tempo: 170917986196,9867262
Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.


Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.


Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Cuplikan film Dirty Vote. YouTube
Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.


PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

6 Februari 2024

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.


Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

5 Februari 2024

Ferdinand
Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.


Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

22 Januari 2024

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.


Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

15 Januari 2024

Tangkapan layar tayangan video Tempo.co berisi kampanye Prabowo Subianto di Riau, Pekanbaru, Selasa, 9 Januari 2024.
Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.


Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

15 Januari 2024

Presiden Joko Widodo (kiri) bersama Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (kanan) dan Wakil Ketua MK Aswanto (tengah) meninggalkan ruang sidang seusai mengikuti sidang pleno penyampaian laporan tahun 2019 di Gedung MK, Jakarta, Selasa 28 Januari 2020. Sejak berdiri pada tahun 2003 hingga Desember 2019 MK telah menerima sebanyak 3.005 perkara. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

Kita menunggu Mahkamah Konstitusi mewariskan putusan yang berpihak kepada hukum dan kebenaran, karena kalau hukum tidak ditegakkan, maka tirani yang akan leluasa merusak harkat dan mertabat bangsa Indonesia.


Bancakan Proyek Sengkarut Nasional

15 Januari 2024

Mantan Menkominfo Johnny G. Plate divonis 15 tahun penjara setelah ditetapkan sebagai tersangka pada 17 Mei 2023 dalam kasus korupsi proyek pembangunan Base Transceiver Station (BTS) 4G yang dikerjakan Kemenkominfo. Johnny bersama sejumlah tersangka lainnya diduga melakukan pemufakatan jahat dengan cara menggelembungkan harga dalam proyek BTS dan mengatur pemenang proyek hingga merugikan negara mencapai Rp 8 triliun. TEMPO/M Taufan Rengganis
Bancakan Proyek Sengkarut Nasional

PPATK menemukan 36,67 persen aliran duit dari proyek strategis nasional mengalir ke politikus dan aparatur sipil negara. Perlu evaluasi total.