Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Menyaksikan Genie Jatuh Cinta

image-profil

Oleh

image-gnews
Will Smith dan Mena Massoud dalam Aladdin (2019)
Will Smith dan Mena Massoud dalam Aladdin (2019)
Iklan

Sebetulnya A Whole New World yang ditawarkan Disney tak pernah benar-benar baru, kecuali memberi ‘daging’ kepada film animasi yang mereka produksi puluhan tahun silam. Paling tidak itu yang terjadi pada film Beauty and the Beast (Bill Condon, 2017) di mana versi film layar lebar dengan pemain Emma Watson sebagai si beauty itu meniupkan ruh pada versi animasi. Dalam film live-action itu, kita tak meliahat perubahan yang signifikan kecuali ada beberapa selipan sikap feminisme yang agak ‘nanggung’. Tetapi Beauty and the Beast sukses mencapai box-office dan memang itulah tujuan Disney mendaur ulang semua film-film animasinya menjadi film live -action.

Naomi Scott dan Mena Massoud dalam Aladdin (2019)

Kini sutradara Guy Ritchie juga ditugaskan untuk ‘menghidupkan’ film animasi Aladdin (1992) yang sebetulnya jauh lebih menantang. Salah satu tantangan itu adalah para produser negara Barat, Hollywood maupun Eropa, belum terlepas dari konsep orientalis dan eksotis dunia Timur (Tengah) maupun Timur Jauh (Asia) yang berujung visualisasi stereotip. Pandangan dan visualisasi mereka belum berubah secara signifikan meski harus diakui terlihat upaya koreksi di sana-sini yang bersifat kosmetik. Apalagi sebelumnya film animasi Aladdin memang sudah mengandung masalah ketika keluar pada tahun 1992 karena semua pengisi suara adalah aktor/aktris kulit putih. Tak heran ketika Disney mengumumkan akan membuat film panjang Aladdin, para penonton sudah bersiap-siap meneliti apakah Hollywood akan mengulang stereotip itu.

Whitewashing—yang berarti menggunakan aktor kulit putih untuk tokoh-tokoh kulit berwarna – sudah sering terjadi dalam film-film Amerika. Dari film klasik The King and I (1956) di mana aktor Hollywood asal Rusia Yul Bryner berperan sebagai raja Siam; atau The Ghost in the Shell (Rupert Sanders, 2017) yang menampilkan Scarlett Johansson yang memerankan Major Mira Killian alias Motoko Kusanagi dari kisah manga karya Masamune Shirow. 

Di dalam film Aladdin, Puteri Jasmine yang diperankan oleh aktris Naomi Scott (aktris campuran Inggris dan India) serta Mena Massoud, aktor Kanada kelahiran Mesir sempat menimbulkan gerutuan (calon) penonton. Apalagi kemudian tokoh Pangeran Achmad, tokoh antagonis yang melamar puteri Yasmin diganti menjadi Pangeran Anders (Billy Magnussen) dari Norwegia yang tampil karikatural, maka istilah ‘whitewashing’ berkibar kembali.

Keramaian semakin meninggi ketika teaser film keluar yang menampilkan Will Smith, si jin biru yang tampak aneh. Maklum, bukan saja  sulit menampilkan Jin dalam bentuk CGI (Computer-Generated Imagery), tetapi Smith sebagai aktor harus menapak jejak Robin Williams yang sudah telanjur melekat di benak penonton. Bahkan sineas animasi Aladdin mengaku bahwa penciptaan Aladdin itu diciptakan seputar karakter Genie dengan membayangkan Robin Williams.

Jadi bagaimanakah Aladdin live-action hasil ramuan Guy Ritchie?

Will Smith and Nasim Pedrad in Aladdin (2019)

Ternyata tak seburuk yang diperkirakan para penonton. Tentu saja plot film animasi versi 1992 menjadi pola dasar dari film ini, tetapi ada beberapa elemen yang diubah dan ditambah. Misalnya tokoh Genie, dalam bentuk ‘manusia biasa’ pada awal film digunakan sebagai pendongeng 1001 malam yang berkisah tentang sebuah negeri bernama Agrabah; tentang seorang puteri cantik bernama Yasmine yang resah dengan undang-undang di kerajaannya yang mengharuskan dia menikah dengan seorang pangeran; dan tentang tradisi dan aturan Agrabah yang menganggap hanya lelaki yang bisa memerintah kerajaan. Lalu muncullah si pencuri kampung berhati emas –karena hasil curiannya selalu dibagi pada kaum papa—bernama Aladdin yang berkawan dengan si monyet kecil Abu. Aladdin jatuh cinta pada si puteri feminis. Lalu bagaimana caranya dia menggapai hati sang puteri? Genie siap melayani Aladdin, demikian jawab Genie yang diperankan Will Smith dengan lucu, yang tidak kelojotan seperti gaya Robin Williams. Tafsir Smith lebih ‘modern’ dan lebih mengingatkan kita pada gaya Smith dalam komedi The Fresh Prince of Bel-Air. Cerewet, lucu sekaligus cepat membantah.

Selain unsur feminis dalam film ini diperkuat, meski hanya di permukaan – di mana aktris Naomi Scott menyanyi lantang lagu baru “Speechless” – sutradara Guy Ritchie memperlihatkan keahliannya menggambarkan adegan komedi-laga sebagaimana yang dia lakukan dalam serial film Sherlock Holmes. Meski penampilan pasangan Naomi Scott dan Mena Massoud tidak buruk seperti yang diramalkan penonton yang hanya menyaksikan dari teaser film ini, mereka menyanyi dengan bagus terutama pada adegan legendaris karpet terbang itu –justru yang menarik adalah tambahan subplot hubungan Dalia (komedian Saturday Night Live Nasim Pedrad). Roman-romanan cinta ternyata bukan soal karpet terbang ala Yasmin dan Aladdin, tapi si jin birupun hatinya bergelepar ketika berkenalan dengan dayang sang puteri.

Jika kita tidak menuntut Will Smith menggantikan kedahsyatan Robin Williams dan mengabaikan CGI Genie yang agak ganjil itu dan lebih fokus ketika dia sedang menjelma menjadi manusia, maka kita bisa menikmati film ini. Bahwa ternyata kostumnya campuran elemen India dan Arab, kita anggap saja ini bagian dari fantasi sineas tentang Agrabah yang fiktif. Juga dansa -dansi massal yang lebih menunjukkan Bollywood daripada tarian Arab tampaknya bukan karena mereka peta dan georafi, tetapi karena tari-tarian Bollywood kini menjadi pilihan populer Hollywood sejak meledaknya film Slumdog Millionaire (Danny Boyle, 2008)

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tentu saja ada satu hal lagi yang perlu diabaikan yakni tokoh Jaffar (Marwan Kenzari) yang tampil sangat teaterikal itu. Selebihnya, bereslah sudah: film ini hiburan yang asyik.

ALADDIN

Sutradara: Guy Ritchie

Skenario: John August dan Guy Ritchie

Berdasarkan: film animasi “Disney” karya Ron Clements dan John Musker yang diadaptasi

dari kisah “Aladdin and the Magic Lamp” dari  “ One Thousand and One Nights

Pemain: Will Smith, Mena Massoud, Naomi Scott, Marwan Kenzari

Produksi: Walt Disney Pictures, Rideback, Lin Pictures, Marc Platt Productions

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

2 hari lalu

Sertijab Pj Bupati Musi Banyuasin
Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.


Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

23 hari lalu

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi secara resmi membuka Pos Koordinasi (Posko) Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024 di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta.


25 hari lalu


Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

31 hari lalu

Ilustrasi perang sosial media. / Arsip Tempo: 170917986196,9867262
Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.


AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

35 hari lalu

UKU dan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) menggelar konferensi pers di The Acre, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis, 21 Maret 2024. TEMPO/Savero Aristia Wienanto
AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.


DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

50 hari lalu

Badan Anggaran (Banggar) bersama Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) kembali membahas Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) 2024 di Ruang Rapat Paripurna, DPRD DKI Jakarta, Senin, 30 Oktober 2023. Tempo/Mutia Yuantisya
DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.


Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

51 hari lalu

Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh memberikan pidato politiknya secara virtual pada acara HUT ke-12 Partai Nasdem di NasDem Tower, Jakarta, Sabtu 11 November 2023. HUT tersebut mengambil tema
Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.


H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

15 Februari 2024

Pekerja mengangkut beras di Gudang Bulog Kelapa Gading, Jakarta, Senin, 5 Januari 2024. Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan memastikan persediaan bahan pokok, terutama beras, cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat menjelang Ramadan 1445 Hijriah. TEMPO/Tony Hartawan
H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.


Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.


Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Cuplikan film Dirty Vote. YouTube
Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.