Pelibatan anak dalam unjuk rasa yang berujung rusuh pada 22 Mei lalu patut disesalkan. Dua bocah bahkan tewas dalam kerusuhan yang berkaitan dengan penolakan hasil pemilihan presiden itu.
Kementerian Sosial dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat ada 52 anak yang terlibat dalam kerusuhan itu. Mereka kini berada di rumah perlindungan yang dikelola Kementerian Sosial. Sebagian dari mereka hanya ikut-ikutan atau diajak orang lain.
Menurut KPAI, ada pula anak yang ikut unjuk rasa karena diajak guru mengajinya. Hal itu sungguh menyedihkan. Guru mengaji seharusnya menjadi panutan bagi anak-anak untuk menjalankan agama dengan damai dan bukan lewat jalan kekerasan.
Kepolisian perlu menelusuri peran guru ngaji tersebut serta tokoh lain yang melibatkan anak-anak dalam kerusuhan. Sesuai dengan Undang-Undang Perlindungan Anak, setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari penyalahgunaan dalam kegiatan politik dan peristiwa yang mengandung kekerasan. Pelaku yang melibatkan anak-anak dalam situasi yang berbahaya itu diancam hukuman 5 tahun penjara.
Pelibatan anak dalam politik sebenarnya sudah terjadi dalam kampanye Pemilihan Umum 2019. KPAI mencatat setidaknya terdapat 55 kasus pelibatan anak dalam pemilu lalu. Sebanyak 22 kasus di antaranya dilakukan calon legislator dan partai politik. Mereka mengajak anak-anak menghadiri kampanye terbatas dan rapat umum.
Harus diakui, angka kasus pelibatan anak-anak dalam Pemilu 2019 jauh menurun dibanding pada Pemilu 2014 yang mencapai 248 kasus. Hanya, muncul indikasi lain yang mencemaskan. Berbeda dengan pemilu sebelumnya, kali ini anak-anak juga dilibatkan dalam kampanye di media sosial dan sengketa pemilu. Bahkan sempat beredar luas foto anak di media sosial dengan caption seruan untuk berjihad pada 22 Mei 2019.
Undang-Undang Pemilu sebetulnya tidak mengenal kategori anak-anak dalam urusan kampanye. Sesuai dengan undang-undang ini, larangan ikut dalam kegiatan kampanye berlaku bagi warga yang belum memiliki hak pilih atau berusia di bawah 17 tahun. Aturan itu memang sedikit berbeda dengan UU Perlindungan Anak yang mendefinisikan anak sebagai seseorang yang belum genap berusia 18 tahun.
Dalam kasus anak-anak yang terlibat dalam kerusuhan 22 Mei lalu, polisi sebaiknya berpatokan pada UU Perlindungan Anak. Tak cuma dalam soal batasan usia, tapi juga dalam menempatkan posisi anak-anak pada kasus itu. Sesuai dengan semangat undang-undang ini, anak-anak perlu mendapat perlindungan karena mereka masih rentan dari berbagai bentuk eksploitasi politik.
Penegak hukum mesti melihat anak-anak itu bukan sebagai pelaku, melainkan korban. Berbeda dengan anak-anak yang menjadi pelaku kriminal, seperti pembunuhan, anak-anak yang terlibat dalam kasus kerusuhan itu tidak patut dihukum. Mereka justru perlu dilindungi sekaligus direhabilitasi.