Penyelidikan yang menyeluruh layak digelar untuk memperjelas penyebab kerusuhan 21-22 Mei dan pelanggaran-pelanggaran kemanusiaan yang terjadi. Ada banyak hal yang harus diklarifikasi: dari soal asal peluru tajam, siapa yang mendatangkan dan membayar massa bayaran, benarkah ada instruksi Partai Gerindra terkait dengan mobil ambulans dari Tasikmalaya yang berisi batu, hingga pelanggaran prosedur operasi standar oleh aparat kepolisian dalam menangani kerusuhan. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia layak dilibatkan dalam investigasi ini.
Aksi demo 22 Mei jelas telah ditunggangi massa perusuh yang punya agenda menciptakan krisis yang meluas. Lewat penangkapan ratusan perusuh dan provokator berikut barang bukti berupa bom molotov, batu, amplop, dan uang, polisi bisa mengungkap siapa pendana, penghubung, hingga dalang kerusuhan. Sejauh ini polisi sudah mengidentifikasi tiga kelompok penyusup: kelompok preman, kelompok pembawa senjata api, dan kelompok berideologi ekstrem yang berniat melakukan "jihad" melawan aparat.
Semestinya para penegak hukum bisa segera sampai pada dalang kerusuhan, terlebih Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto menyebutkan telah mengetahui sang dalang. Penangkapan beberapa anggota Gerakan Reformis Islam (Garis), yang terafiliasi dengan jaringan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) di Indonesia, serta anggota kelompok yang membawa satu pucuk senapan serbu M4 dan pistol harus ditindaklanjuti hingga mengarah pada mastermind kerusuhan sesungguhnya.
Polisi juga perlu menyidik lebih dalam "nyelonongnya" mobil ambulans berisi batu berlogo Partai Gerindra. Sang pengemudi sudah mengaku diperintah oleh pemimpin partai di Tasikmalaya. Boleh jadi, pemimpin partai daerah pun mendapat "order" dari pimpinan pusat. Jika partai politik terbukti terlibat dalam aksi kerusuhan, apalagi aksi makar, partai tersebut layak didiskualifikasi.
Tugas investigasi yang tak kalah berat adalah mengusut asal peluru tajam yang menewaskan perusuh dan korban kerusuhan yang menyebar hingga ke Tanah Abang dan Slipi. Sejak awal pemerintah menyampaikan bahwa aparat TNI-Polri dilarang menggunakan peluru tajam saat mengamankan aksi untuk menghindari upaya adu domba. Mereka hanya dibekali tameng, gas air mata, dan water cannon untuk menghalau massa. Tapi faktanya ada korban tewas akibat tembakan.
Polisi secara fair memang telah mengakui ada satu korban tewas yang mungkin tertembak anggota Brimob yang marah akibat asrama mereka dibakar massa. Agar lebih adil, tim investigasi perlu segera melakukan autopsi pada lima korban tewas lain yang diduga juga tertembak.
Pelanggaran prosedur operasi standar (SOP) oleh aparat kepolisian bukannya tak terjadi. Komnas HAM bahkan menemukan adanya indikasi pelanggaran oleh sekelompok orang berseragam Brimob ketika menangkap seorang anak di halaman sebuah masjid di Kampung Bali XXXIII, Tanah Abang. Video anak yang dipukuli itu kemudian viral.
Pengusutan seluruh kasus itu harus tuntas. Jangan sampai publik tak pernah mendapat penjelasan yang terang seperti dalam kerusuhan-kerusuhan sebelumnya. Jangan sampai pula peristiwa yang mencederai demokrasi itu menjadi alat bargaining politik segelintir elite.