Pemerintah seharusnya segera menyiapkan aturan hukum yang jelas menyangkut penataan media sosial. Meski tujuannya baik, pembatasan layanan media sosial mesti didasarkan pada landasan hukum yang memadai.
Sejak Rabu, 22 Mei lalu, pengguna media sosial dan peranti lunak percakapan-seperti WhatsApp, Facebook, Instagram, Twitter, dan Line-di Indonesia menjerit. Fitur aplikasi-aplikasi tersebut dibatasi sehingga pengguna kesulitan mengirim pesan. Pesan terkirim lebih lambat, terlebih jika berupa pesan gambar ataupun dokumen. Banyak pedagang online kelimpungan. Toko daring mereka sepi pembeli terkena imbasnya, karena sebelumnya mereka mengandalkan media sosial sebagai lapak berjualan.
Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara mengaku terpaksa mengeluarkan jurus darurat itu demi meredam penyebaran konten negatif yang dapat memprovokasi orang berbuat rusuh. Langkah itu diambil setelah pecah kerusuhan pada 21 dan 22 Mei lalu di beberapa lokasi di Jakarta pasca-unjuk rasa di depan kantor Badan Pengawas Pemilihan Umum. Demonstrasi yang berujung kerusuhan itu menyebabkan enam orang tewas dan ratusan orang terluka. Rudiantara menuding foto dan video yang disebarkan lewat media sosial sebagai salah satu pemicunya.
Pemangkasan sementara fitur media sosial itu menimbulkan pro dan kontra. Pihak yang setuju berargumen pembatasan itu bukanlah pemblokiran aplikasi ataupun layanan. Jadi, tidak bertentangan dengan Pasal 28F UUD 1945 tentang hak berkomunikasi dan memperoleh informasi, juga tidak melanggar Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia tentang kebebasan mencari, menerima, dan menyampaikan informasi. Pengguna masih dapat berkomunikasi, meski terjadi keterlambatan akses karena operator seluler mencekik jalur pengiriman foto dan video.
Pemerintah sendiri beralasan mereka memiliki kewenangan sesuai dengan Pasal 40 ayat (2) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik untuk membatasi media sosial. Syaratnya, media sosial tersebut terbukti mengganggu ketertiban umum atau mengandung muatan negatif.
Di sinilah persoalan muncul. Sampai saat ini belum ada peraturan pemerintah sebagai turunan dari Pasal 40 ayat (6) UU ITE itu, untuk menjelaskan secara rinci bagaimana pemerintah menjalankan peran tersebut.
Penguatan regulasi itu harus menjadi prioritas pemerintah. Indonesia dapat berkaca pada Selandia Baru yang memiliki perangkat hukum lengkap. Mereka memiliki aturan Censorship and the Internet untuk menindak orang yang menggunakan Internet buat aktivitas ilegal, termasuk mendistribusikan konten berbahaya. Walhasil, ketika di Facebook beredar video siaran langsung penembakan jemaah salat oleh teroris di dua masjid di Christchurch pada 15 Maret lalu, Facebook dan penyedia jasa Internet di sana langsung menghapusnya.
Yang tidak kalah penting adalah mengedukasi masyarakat untuk menggunakan media sosial secara sehat. Pemerintah harus terus menyeru semua pihak, khususnya pengguna media sosial, untuk menggunakan kebebasan berekspresi secara benar.